Serbuan tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia, khususnya dari Tiongkok menarik perhatian publik baru-baru ini. Terlebih, saat ini Indonesia tengah megalami perlambatan ekonomi, dan banyak buruh yang dirumahkan. Perlu upaya serius untuk melindungi tenaga kerja lokal.
Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Tenaga Kerja (Kemenakertrans), sepanjang Januari 2014-Mei 2015, Kementerian telah menerbitkan 41.365 Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) untuk TKA asal Tiongkok. Dari jumlah itu, yang masih ada di Indonesia mencapai 12.837 buruh. Sektor perdagangan dan jasa menjadi pos yang paling diminati dengan 26.579 buruh. Berikutnya ialah sektor industri yang berjumlah 11.114 buruh. Sementara, pertanian menampung 3.672 buruh.
Direktur Migrant Institut, Adi Chandra Utama mengatakan, masuknya TKA ke Indonesia sebenarnya sebuah keniscayaan di era borderless economy seperti saat ini. Mobilisasi atau migrasi tenaga kerja antarnegara mengikuti hukum supply and demand. “Arus masuk TKA azimnya terjadi jika ada ‘demand’, dalam hal ini dimaknai sebagai ‘kekurangan’ tenaga kerja pada jenis atau keahlian tertentu,” ujarnya kepada KBK.
Pada situasi ini, kata Adi, tidak relevan jika kita bicara perlindungan. Dalam artian, tenaga kerja lokal yang ada memang tidak memenuhi kualifikasi untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja tersebut. Dengan demikian, siap-siap saja tenaga kerja lokal yang tidak qualified, maka ia tidak akan terpakai.
Lalu bagaimana jika TKA yang masuk ke Indonesia ternyata mereka yang memiliki kualifikasi sama dengan tenaga kerja lokal? “Nah, isu perlindungan menjadi relevan jika kualifikasi yang dibutuhkan masih bisa dipenuhi oleh stok tenaga kerja lokal,” kata Adi.
Adi menjelaskan, untuk melindungi tenaga kerja lokal, yang harus dilakukan pemerintah adalah mengeluarkan affirmative policy. Sebagai contoh, pemerintah mewajibkan perusahaan, terutama yang dimiliki penanam modal asing (PMA) untuk mempekerjakan tenaga lokal sampai level terntentu.
Sebenarnya, Peraturan Kemenaker Nomo 15, Tahun 2015 sudah mengatur ini, seperti perbandingan TKA:TKI adala 1 berbanding 10. Hanya saja implementasinya yang harus ditinjau kembali. Namun, dalam kondisi yang over-supply seperti saat ini,seharusnya yang menjadi fokus bukan pada proporsi, tapi kombinasi dengan jenis atau kualifikasinya. “Bahkan menurut saya 1:10 itu masih terlau besar untuk TKA,” tambahnya.
Adi menambahkan, jika kebijakan afrimatif ini berjalan, ‘serbuan’ dalam arti negatif tidak akan terjadi. Selain itu, yang paling utama juga adalah bagaimana pemerintah mendesain pengembangan sumber daya manusia di Indonesia. “Semestinya harus in line dengan tahapa dan strategi pembangunan nasional,” katanya.
Adi mendorong, pemerintah semesetinya juga konsentrasi dengan arus migrasi tenaga kerja lokal (TKI) ke luar untuk mengurangi timpangnya supply and demand di dalam negeri. “Semestinya, dengan bonus demografi yang kita miliki, tenaga kerja lokal tidak hanya menguasai pasar domestik, bahkan bisa meguasai pasar global dengan skema diaspora,” tukas Adi.