RUPANYA yang kasmaran akan Wara Srikandi bukan saja Begawan Durna dan Harjua, tapi juga Prabu Jungkung Mardeya dari negeri Parang Gubarjo. Dia raja yang punya banyak usaha dan banyak cerita, terutama kejombloannya dalam usia kepala empat. Menurut wisik dewa yang diterimanya, kepemimpinannya di Parang Gubarjo bakal tak tergoyahkan asal punya istri Wara Srikandi dari Pancalaradya.
Prabu Jungkung Mardeya memiliki abdi paling loyal tak lain dan tak bukan Togog – Sarawita yang dulu diambil dari yayasan penyedia pembantu Bu Gito. Tapi beda dengan pembantu lain yang tak betah pada majikan, dua sosok wayang ini tetap bertahan ikut Prabu Jungkung Mardeyo sendiri sampai yayasan Bu Gito bubar bersama kepergiannya sang pemilik ke alam baka.
“Togog dan Bilung, saya harus melamar Wara Srikandi di Pancala, sebab kata dewa dalam mimpiku, hanya beristrikan dialah aku bisa eksis di Parang Gubarjo.” Kata Prabu Jungkung Mardeya di luar sidang kerajaan.
“Ya nanti dulu sinuwun. Siapa dewa yang datang dalam mimpi itu harus jelas, sehingga dijamin keakurasian infonya.” Jawab Togog.
“Jaman internet begini, siapa saja bisa ngaku-ngaku. Jika dewa itu cuma pegawai pinjol kan celaka. Bukan dapat istri, malah tercekik bunga pinjaman yang terus bertambah.” Kata Sarawita ikut nimbrung.
Prabu Jungkung Mardeya menegaskan, pemberi wisik itu pakai jubah dan kethu kadewatan, pakai pula sepatu tanpa kaos kaki. Itu kan ciri-ciri khas wayang tingkat dewa. Tapi jawaban sang prabu justru bikin Togog – Bilung tertawa sampai berguling-guling. Sebab jaman sekarang wayang biasa juga berani pakai jubah dan kethu semacam itu, tapi giliran ditodong jadi imam dan khatib salat Jumat tidak berani.
Terus terang, Prabu Jungkung Mardeya ini bukan wayang pemeluk teguh, sehingga dewa yang mampir dalam mimpinya juga tidak jelas siapa sosoknya. Ngakunya sih alumnus PA-212 yang memiliki 130 juta pendukung, tetapi kok giginya lengkap 32 biji. Akhirnya Togog-Bilung hanya bisa menyarankan, jika ngotot mau melamar Wara Srikandi silakan saja, tapi keberhasilannya tidak dijamin.
“Bagi kami si Togog dan Bilung ini, siap menemani sinuwun ke mana saja, yang penting akomodasi terjamin.” Kata Togog-Bilung pada akhirnya.
“Nah gitu dong, mbok dari tadi ngomong begitu, sehingga kita tak perlu bertengkar buang-buang waktu.” Jawab Prabu Jungkung Mardeya.
Seperti lazimnya ratu sabrangan, Prabu Jungkung Mardeya juga ahli terbang solo, sehingga tak perlu pesen tiket di bandara atau carter jet pribadi. Akan halnya dua punakawan Togog-Bilung cukup dimasukkan ke kalpika (cincin) Bawera Loka yang kelihatanya kecil menghiasi jari, tapi di dalamnya terdapat ruangan luas yang bisa menampung Togog-Bilung sekaligus. Bahkan di ruang itu juga terdapat papan peringatan dilarang merokok, sementara di pintu masuk ada tulisan: dilarang masuk selain petugas.
Tiba di kerajaan Pancala masih terlalu pagi, pukul 08:00 WPB (Waktu Pancala Barat). Sambil menunggu jam Istana buka, Prabu Jungkung Mardeya ngiras soto Surabaya di pojok alun-alun. Sembari makan Togog mengingatkan pada Prabu Jungkung Mardeya, agar dijaga benar-benar sopan santun di negeri ini. Di sini patihnya yang bernama Gandamana kodo (mudah main pukul)-nya bukan main. Nyebut nama raja hanya njangkar, bisa ditempeleng.
“Patih Gandamana dulu pernah hajar Bambang Kumbayana, hanya gara-gara sebut nama kecil Prabu Drupada dengan Sucitra, Sucitra….!” Ujar Togog buka sejarah.
“Beda dengan Indonesia, presiden hanya dipanggil SBY dan Jokowi, nggak papa.”
“Tapi katanya ada gubernur dipanggil gabener, itu apa maksudnya.” Kata Prabu Jungkung Mardeya sambil ngremus krupuk.
“Oo, itu Gubernur DKI, tapi sudah lengser dia.” Jelas Togog.
Penasaran dengan omongan Togog, Prabu Jungkung Mardeya segera googling di internet. Hasilnya, Patih Gandamana ternyata sudah lama tewas oleh Bima dari Amarta. Kini patihnya bernama Drestakethu, hasil lelang jabatan setelah era reformasi. Wayangnya sabar, bisa meladeni apa yang menjadi maunya raja junjungannya. Citra patih Pancala yang kotok dan sadis telah hilang, berganti menjadi patih yang santun dan seiman.
Tepat pukul 08:00 Istana Pancalaradya sudah mulai dengan aktivitasnya. Dengan membiarkan Togog-Bilung di warung soto, Prabu bergegas masuk kompleks Istana, tapi sudah dicegat oleh anggota Satwalja (Satuan Pengawal Raja). Kata petugas, tak sembarangan bisa ketemu Prabu Prabu Drupada. Jika mau ikut proyek revitalisasi Taman Maerakaca cukup daftar k Sekretariat istana.
“Kisanak, saya mau melamar Wara Srikandi, bukan ikut proyek revitalisasi Taman Maerakaca.” Kata Prabu Jungkung Mardeya ngeyel.
“Bener Bapak, tapi itu satu paket dengan proyek revitalisasi Taman Maerakaca. Bapak tidak bisa serta-merta hanya mau lamar Wara Srikandi,” jawab Satwalja memberi penjelasan.
Sesuai petunjuk petugas, Prabu Jungkung Mardeya segera ke bagian sekretariatan. Di sana lalu diberi blanko pendaftaran, termasuk segala persyaratannya. Seminggu kemudian setelah semua persyaratan dipenuhi, baru didaftar resm. Maka dengan langkah gontai kembali ke pangkalan warung soto. Baru kali ini, rasa Parang Gubarjo tak direken di negara lain.
“Lho, gimana ta ini. Ngelamar Wara Srikandi kok dapatnya map segepok?” sindir Togog.
“Begini ya repotnya cari bini di Pancala, sistemnya berbelit-belit.” Keluh Prabu Jungkung Mardeya. (Ki Guna Watoncarita)
