Biaya politik mahal, picu korupsi

0
164
Mahalnya biaya politik ditandai maraknya praktek money politics membuat kader terbaik bangsa tidak muncul dan jika terus dibiarkan, merusak demokrasi. (ilustrasi: Tribune Banten)

MAHALNYA biaya dan mahar politik dari pemilu ke pemilu eksekutif mau pun legislatif,  di tingkat pusat mau pun daerah yang dikenal dengan money politics berkelindan  dengan praktek korupsi.

“Mahalnya biaya politik menjadi ‘lingkaran setan’ maraknya korupsi politik menjelang kontestasi Pilkada 2024, “ kata Staf Divisi Korupsi Politik ICW, Seira Tamara dalam seminar: “Dampak Kecurangan Pilpres bagi Pilkada 2024”  beberapa waktu lalu.

Sejak awal pencalonan, para kandidat menggelontorkan uang  sangat besar dan saat menjabat ia bukannya fkus untuk menjalankan atau melaksanakan kebijakan untuk kemaslahatan publik tapi lebih untuk kepentingan diri atau kelompoknya.

“Saya sudah keluar modal banyak saat mencalonkan diri, bagaimana caranya selama lima tahun menjabat bisa balik modal,” lanjut Seira menirukan apa yang menjadi obsesi kandidat.

Seira mengatakan, lingkaran korupsi menciptakan potensi ‘perkawinan’ antara calon kepala daerah dan pengusaha yang menyeponsori  dan ‘menyukongi’ pencalonannya. “Sumbangan dana kampanye boleh saja diberikan dari pihak mana pun asal sesuai ketentuan dan sudah diatur siapa yang boleh menyumbang dan juga nominalnya, “ ujar Seira.

Namun berdasarkan pantauan ICW bersama Perludem berkaca pada pilpres dan pileg 2024, laporan dana kampanye belum sepenuhnya menyajikan fakta yang terjadi. Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh calon kepala atau wakil kepala daerah dalam pilkada mencapai miliaran rupiah, bahkan, biayanya bisa di atas Rp10 miliar.

Litbang Kemendagri bahkan menyebutan, biaya  politik untuk pencalonan bupati atau wali kota rata-rata Rp30 miliar, sedangkan untuk pencalonan gubernur bisa mencapai Rp100 miliar. Selain itu, sebagian pasangan calon juga harus mengeluarkan dana pilkada melebihi harta kas (total uang tunai, deposito, giro, tabungan) dan total harta kekayaan (sesuai LHKPN).

Kondisi itulah, menurut studi KPK, menyebabkan paslon menutup kekurangan biaya dengan mencari dana tambahan melalui penghimpunan donasi.

Tak ada makan siang gratis 

Kontribusi besar donatur  dalam pemenganan kontestasi politik bukanlah tanpa pamrih. “Tidak ada makan siang gratis,” ungkap  idiom politik. Riset ICW juga menyebutkan, harapan terkait balas budi juga diekspresikan dalam bentuk lisan mau pu tertulis.

Dalam biaya politik itu juga terdapat “mahar politik”. Istilah mahar politik merujuk sejumlah uang yang diberikan kepada parpol agar seseorang dipinang atau dicalonkan dalam pemilihan.

Tanpa “mahar politik”, seseorang bisa terancam gagal maju dalam pemilihan. Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, Amir Arief, menyebutnya sebagai “uang perahu” untuk memastikan sang kandidat bisa “berlayar”.

“Mahar diberikan untuk mendapat ‘stempel’ dan restu dari partai politik. Mereka berargumen, mahar politik ini perlu untuk menggerakkan mesin politik. Tanpa mahar politik, orang bisa terancam gagal maju dalam pemilu, pileg atau plkada, “ kata Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Amir Arif.

Padahal, Pasal 47 UU No.1/2015 tentang Penetapan Peraturan  Pemerintah Pengganti UU Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU (diubah dengan UU No. 10/ 2016) menyebutkan, parpol  dilarang menerima imbalan apa pun dalam proses pencalonan kepala daerah.

Jika terbukti menerima imbalan, parpol atau gabungan parpol dilarang mengajukan calon pada pilkada berikutnya di daerah tersebut.

Di sisi lain, kecenderungan praktik semacam itu terjadi karena rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp5 miliar satu periode (dari kajian Litbang Kemendagri), lebih kecil dari nilai mahar politik yang harus disetornya pada parpol saat mencalonkan diri. .

Perlu banyak uang

Sementara pakar hukum kepemiluan Titi Anggraini mengatakan para bakal calon kepala daerah sangat mungkin mengeluarkan uang banyak untuk membiayai persaingannya di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024. Fenomena itu muncul karena proses politik berlangsung sentralistik atau kembali ke tingkat pusat.

“(Kalau) mau maju (Pilkada), misalnya contoh di Tangerang Selatan, yang “diketok” pertama adalah pengurus partai di Tangsel, lalu di tingkat provinsi, kemudian wajib pula  rekomendasi dari DPP,” ujar Titi dalam program Gaspol! di YouTube Kompas.com (9/8).

Ia menganggap situasi itu aneh karena parpol memiliki struktur kepemimpinan dari tingkat pusat, provinsi sampai kabupaten dan kota, jika kandidat harus mengeluarkan sendiri logistik untuk membiayai pencalonannya.

“Ketika ada “tiga pintu yang harus “diketok”, konsekuensinya ya biaya semua, “ kata Titi.

Bagi Titi, situasi itu membuat situasi demokrasi tak sehat. Pasalnya, rekomendasi parpol untuk para bakal calon akhirnya juga ditentukan dari seberapa banyak logistik yang dimiliki. “Istilahnya tiap “pintu” ada ongkosnya, jadi makin mahal,  akhirnya yang punya uang yang bakal berkuasa,” tuturnya.

Menurut catatan, PPATK juga menengarai transaksi mencurigakan senilai Rp51,47 triliun oleh 100 caleg yang masuk Daftar Calon Tetap (DCT) dalam Pemilu Legislatif 2024 lalu, namun laporan itu tidak ditindaklanjuti. Tidak diketahui, berapa niai transaksi para calon kepala daerah pada Pilkada Serentak 27 Nov. 2024.

Tanpa keseriusan segenap supra struktur mau pun  infrastruktur politik terutama parpol untuk menghentikan praktek money politics, mahar politik atau semacamnya, jangan harap demokrasi di negeri ini berjalan semestinya.

 

 

 

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here