Buaya Darat & Air Matanya

Seekor buaya yang ditemukan warga di kali daerah Tlatar Boyolali. Diduga dari buaya peliharaan yang lepas.

DIBERITAKAN media online Merdeka.com hari ini (17/09), Jariyanto (45), Kasun (Kepala Dusun) 7 Desa Sadarkarya, Kecamatan Purwodadi, Musi Rawas, Sumatera Selatan, diterkam buaya saat berburu ikan di suingai. Untung berhasil diselamatkan teman-temannya, meski tubuh tercabik-cabik dan wajah simpang siur. Kini Kasun Jariyanto masih dalam perawatan RS.

Peristiwa malang itu terjadi saat Jariyanto bersama beberapa orang mencari ikan dengan cara menombak di Sungai Lesing di desanya. Mereka menyelami air untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak. Begitu di dalam air, korban dikagetkan dengan keberadaan buaya cukup besar di hadapannya. Tanpa permisi lagi Pak Kasun langsung diterkam. Yang jadi sasaran bagian tangan, wajah, serta kepalanya.

Sungai di Sumatra memang banyak yang dihuni  reptil besar ini. Beda dengan di Pulau Jawa, hampir tak ada sungai yang berpenghuni buaya. Kalau pun ada, berasal dari buaya piaraan orang yang terlepas dan kemudian masuk ke sungai. Yang banyak justru buaya kepala hitam, yang di daerah Jateng biasa disebut bayan, yakni perangkat desa yang bertugas mensosialiasikan kepada rakyat, tenyang aturan dan kebijakan pemerintah yang baru saja ditetapkan. Jika ada orang ngomong, “Kae bayane lagi medang nang warung.” Itu artinya pak kebayan tengah istirahat minum di warung.

Paling hebat adalah kaum wanita. Banyak di antara mereka yang setiap malam tanpa disadari tidur seranjang dengan buaya darat. Mereka ini adalah kaum lelaki yang suka main perempuan, di mana istri di rumah sudah cantik tapi masih juga diam-diam berburu wanita lain. Tapi jika ketahuan istri, suami itu kemudian meneteskan air mata buaya. Maksudnya pura-pura sadar dan menyesal, padahal jika ada peluang kepengin main gila kembali.

Di Indonesia, habitat buaya kebanyakan di sungai-sungai Sumatra, Kalimantan Sulawesi dan Papua. Mereka tinggal di sungai yang tenang  alirannya, tak perlu mengalir sampai jauh sebagaimana Bengawan Solo-nya komponis Gesang Martodiharjo. Hati-hati bila melintas di kali-kali berkarakter seperti ini, siapa tahu kadal raksasa itu sedang mengincar Anda. Tapi bila mana kepepetnya disambar buaya, kata mereka yang berpengalaman dengan buaya, untuk menyelamatkan diri harus segera mencolok atau menusuk mata buaya  dengan apa saja. Karena kesakitan,  buaya akan segera melepaskannya sambil ngomel, “Curang lu ah…..!”

Meski belum pernah melihatnya, anak-anak di Jawa cukup akrab dengan buaya, setidaknya anak-anak yang belum menikmati jaman internet. Orangtuanya di rumah dan gurunya di sekolah suka mendongeng tentang buaya dan si kancil. Bersumber dari buku Serat Kancil tanpa sekar karya Ki Padmosusastro (Bale Poestaka 1921), diceritakan pada murid-muridnya bahwa kancil binatang yang cerdik selalu berhasil menipu si buaya yang bodoh.

Salah satunya dikisahkan, yakni ketika kancil hendak menyeberangi sungai, tiba-tiba dihampiri seekor buaya yang menyeringai dengan sadisnya dan siap menelannya bulat-bulat. Tapi kancil sama sekali tidak panik. “Meski tubuhku kecil, takkan habis kau makan sendiri. Kumpulkan semua temanmu ke sini dan nanti saya hitung, agar semua kebagian.” kata si kancil.

Si buaya dungu sebagaimana kata Rocky Gerung, percaya betul pada omongan kancil. Dikumpulkan semua temannya dan diberi tahu bakal makan daging kancil gratis tapi bukan program Capres Prabowo. Para buaya itu pun berbaris melintang dari tebing barat sampai terbing timur. Si kancil pun mulai naik ke punggung buaya dan mulai menghitung, “Satu, dua, tiga, empat, lima…..” dan seterusnya sambil meloncat. Sampai hitungan ke-40, si kancil sudah tiba tebing seberang sana, dan naik ke darat lalu melarikan diri. Para buaya dungu itu hanya bisa mengumpat kena kibul si kancil.

Masih ada sejumlah legenda berkaitan dengan buaya. Misalnya, asal muasal nama kota Boyolali di Jateng. Konon bermula dari Kiageng Pandanaran yang ditugaskan Sunan Kalijaga untuk berdakwah di Gunung Jabalkat daerah Tembayat Klaten. Di abad ke-16 jalan tol Semarang – Solo lewat Bawen sama sekali belum ada, sehingga berangkatlah Kiageng dengan jalan kaki ditemani anak istrinya. Di sepanjang jalan banyak hambatan, pepohonan dan batu-batu besar segede endas maling, sehingga istri dan anak-anaknya tertinggal jauh. Kiageng Pendanaran duduk menunggu sampai anak istrinya tiba. Kata Nyiageng kemudian, Kyai, baya wis lali, teka ninggal bae”(Kyai, kiranya sudah lupa, sehingga meninggalkan saja). Nah, lama-lama daerah  tersebut diberi nama Boyolali, di mana sering diplesetkan orang menjadi Bajul Kesupen.

Bajul memang bahasa Jawanya buaya. Ada tembang Jawa yang sangat merakyat, dengan lirik: sigra milir sang gethek sinangga bajul, kawan dasa kang njageni, ing ngarsa miwah ing pungkur, tanapi ing kanan kering, sang gethek lampahnya alon”. Tembang pupuh Megatruh ini menggambarkan perjalanan Jaka Tingkir pendiri kerajaan Pajang di abad ke-16. Dia menyusuri kali pakai rakit dengan ditopang oleh 40 buaya.

Betapa saktinya Jaka Tingkir, puluhan buaya bisa ditaklukkan dan dipaksa menopang rakit miliknya. Tapi sehebat-hebatnya Jaka Tingkir yang mampu memperalat 40 buaya, ketika kehausan Jaka Tingkir pun pada abad ke-21 ini istirahat dulu, sekedar untuk ngombe dawet. (Cantrik Metaram)