Solidaritas atau berbagi untuk sesama, orang Bugis mengatakan “ Sipatuo sipatokkong”, (Hidup bersama, bahu membahu). Tahun 2004, saya teringat bencana stunami di Aceh dan Sumatra Utara, sebagai contoh bangkitnya rasa solidaritas bangsa Indonesia. Solidaritas sebagai satu rumpun bangsa , solidaritas sepederitaan dan sepenaggungan nasib. Solidaritas seperti yang pernah di katakan oleh Bung Karno “bukan sanak bukan keluarga, tetapi kalau mati, kita juga yang merasa kehilangan “.
Ada uangkapan solidaritas yang termuat pada sebuah milis internet menyangkut bencana stunami di Aceh ini. Seorang wanita muda aktivis yang mewakili organisasinya berada di pasar Mayestik Jakarta untuk membeli kain kafan untuk di kirim ke Aceh. Ketika ia sudah menemukan tempat penjualan keperluan jenazah, ia bertanya kepada si penjual berapa harga seprangkat kain kafan . Wanita muda ini menjadi kecut hatinya, karena uang yang dia bawa ternyata hanya bisa menghasilkan kurang lebih 20 kain kafan. Ia pun terpikir, sebaiknya uang yang terkumpul untuk membeli kain kafan tersebut, dikirim saja dalam bentuk uang daripada membeli kain kafan yang jumlah tidak begitu besar artinya.
Melihat ia masih bingung dan tidak bisa memutuskan, penjual kain kafan itu bertanya, untuk apa kain kafan sebanyak itu. Mereka yang biasa datang membeli di sini biasanya hanya untuk satu perlengkapan jenazah. Wanita muda itu dengan ragu-ragu menjawab seadanya , kain kafan sebanyak itu untuk disumbangkan ke Aceh. Penjual itu dengan serta merta mendatangi beberapa penjual perlengkapan jenazah lain disekitarnya. Dalam waktu singkat, para penjual perlengkapan jenazah itu berdatangan membawa seperangkat kain kafan yang akhirnya berjumlah ratusan.
Para penjual perlengkapan jenazah itu berkata kepada wanita muda tadi : “ Tolong ikutkan, ini adalah sumbangan kami. “Belum berhenti wanita itu terkesima atas kejadian ini, para penjual perlengkapan jenazah itu, dibantu oleh portir liar pasar, sudah mengangkat ratusan perangkat kafan itu ke atas mobil bak terbuka si wanita muda. Para penjual perlengkapan jenazah itu malah lebih dahulu menyampaikan terima kasih.
Ketika selesai menaikan kain kafan ke mobil, si wanita muda hendak memberikan tip kepada portir yang ikut membantu menaikkan barang-barang itu. Tetapi para portir yang biasanya bringas menuntut upah atas jasa memanggul barang di pasar itu, menolak tip yang diberikan. Wanita muda aktivis itu, tidak jadi mengeluarkan uang untuk membeli kafan, ia pulang cepat- cepat membawa barang –barang “amanah” itu, sambil menitikkan airmata, ia berkata “ Ya Allah dengan bencana Aceh ini, betul-betul Engkau telah bangkitkan rasa solidaritas bangsa ini .
Ini mungkin peristiwa kecil yang remeh , tapi maknanya sangat dalam. Para penjual perlengkapan jenazah di pasar tradisional itu adalah pedagang kecil. Uangkapan keprihatinan mereka terhadap bencana dan penderitaan saudara – sauadara mereka di Aceh spontan dan sangat tulus. Bantuan orang-orang kecil seperti ini, betul-betul datang dari lubuk hati mereka yang paling dalam, betapapun kecil nilainya. Mereka sehari-hari juga serba berkekurangan menghidupi keluarga mereka, tetapi mereka telah rela berbagi penderitaan bagi saudara-saudara sebangsa mereka di Aceh.
Tentu, sebaliknya tidak semua bantuan dan rasa solidaritas dari perusahaan besar dan konglomerat bernilai pamrih. Tetapi pada dasarnya sangat mulia bagi orang yang berkemampuan itu memberikan “ charity”, kemurahan hati, amal dan derma . Tidak perlu kemurahan mereka dilakukan untuk diketahui orang lain dan dipermaklumkan. Amal dan derma yang perlu diliput televisi dan dicetak di koran-koran. Apalagi jika derma dan amal mereka berasal dari dana yang diakumulasikan dalam keuntungan yang juga diperolehnya dari masyarakat .
Dari Aceh waktu itu ada yang mengeluh, bantuan pakaian bekas yang datang, ada yang sama sekali tidak layak dipakai dan robek-robek. Jangan cepat mencibir, siapa tahu sumbangan itu datang dari orang yang betul-betul tulus. Itulah satu-satunya kekayaan yang mereka miliki dan dapat mereka berikan. Namun itu juga ungkapan rasa solidaritas, mungkin akan sama nilainya dengan bantuan miliaran rupiah yang diberikan oleh sebuah perusahaan besar. Amal dan kebajikan kepada sesama manusia akan diukur kelak di akhirat. Betapa kontras kedua episode ini .
Momentum solidaritas bangsa Indonesia tidak hanya muncul waktu Tsunami Aceh, tetapi juga pada tragedi asap, bencana kelaparan, bencana alam, dll, Solidaritas seperti ini perlu tetap dipelihara, solidaritas sesungguhnya.
