JAKARTA – Di tengah maraknya isu Tenaga Kerja Asing (TKA) ke Indonesia, terutama tenaga kerja asal Tiongkok yang menurut data Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang diterbitkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan per 1 Januari 2014 – 31 Mei 2015, tercatat 41.365 orang TKA asal Tiongkok yang bekerja di Indonesia. Sektor yang banyak diisi oleh pekerja Tiongkok dari 1 Januari 2014 s.d Mei 2015 adalah sektor Perdagangan dan Jasa 26.579 orang, Industri 11.114 orang dan Pertanian 3.672 orang.
Maraknya Tenaga Kerja Asing (TKA ) asal Tiongkok di Indonesia merupakan dampak dari pemberlakuan Permenaker No.16 Tahun 2015 yang tidak mewajibkan TKA menggunakan bahasa Indonesia.
“Di poin ini, saya melihat kebijakan pemerintah melalui Permenaker No.16 Tahun 2015 tidak dipikirkan dampak turunan dari perubahan aturan tersebut,” ujar Anggota Komisi IX Okky Asokawati seperti dikutip KBK dari Hukum Online, Senin (31/8/2015).
Sementara itu, Direktur Migrant Institut, Adi Chandra Utama mengatakan, masuknya TKA ke Indonesia sebenarnya sebuah keniscayaan di era borderless economy seperti saat ini. Mobilisasi atau migrasi tenaga kerja antarnegara mengikuti hukum supply and demand. “Arus masuk TKA lazimnya terjadi jika ada ‘demand’, dalam hal ini dimaknai sebagai ‘kekurangan’ tenaga kerja pada jenis atau keahlian tertentu,” ujarnya kepada KBK.
Pada situasi ini, kata Adi, tidak relevan jika kita bicara perlindungan. Dalam artian, tenaga kerja lokal yang ada memang tidak memenuhi kualifikasi untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja tersebut. Dengan demikian, siap-siap saja tenaga kerja lokal yang tidak qualified, maka ia tidak akan terpakai.
Lalu bagaimana jika TKA yang masuk ke Indonesia ternyata mereka yang memiliki kualifikasi sama dengan tenaga kerja lokal? “Nah, isu perlindungan menjadi relevan jika kualifikasi yang dibutuhkan masih bisa dipenuhi oleh stok tenaga kerja lokal,” kata Adi.
Adi menjelaskan, untuk melindungi tenaga kerja lokal, yang harus dilakukan pemerintah adalah mengeluarkan affirmative policy. Sebagai contoh, pemerintah mewajibkan perusahaan, terutama yang dimiliki penanam modal asing (PMA) untuk mempekerjakan tenaga lokal sampai level terntentu.
Secara terpisah Direktur Institut Kemandirian Zainal Abidin juga menyoroti tingginya jumlah pengangguran di Indonesia. Jumlahnya banyak sekali, dan sebagian besar adalah usia produktif dan terdidik, dengan rata-rata lulusan SMA sederajat.
Menurut data BPS tahun 2014, jumlah pengangguran di Indonesia adalah 7,240,000 orang. “Tanpa membuka lapangan kerja bagi mereka, sangat mungkin akan terjadi masalah sosial yang tidak diinginkan, misalnya kriminalitas,” jelas Zainal Abidin yang akrab disapa Bang Jay ini.
Bang Jay yang populer di media sosial sebagai @jayteroris ini, kepada KBK, Selasa (1/9/2015), juga menjelaskan realistis, lapangan kerja di dalam negeri saat ini, tidak memadai untuk bisa menampung seluruh pengangguran di Indonesia itu.
“Pilihan paling mungkin adalah memekerjakan mereka ke luar negeri,” ungkapnya.
Diterangkan Bang Jay, bukan saatnya lagi kita mengirim TKW atau sekedar buruh saja ke luar negeri. Saatnya kita mengirim tenaga kerja yang trampil supaya daya saing tenaga kerja Indonesia meningkat di luar negeri.
“Institut Kemandirian Dompet Dhuafa dengan kemampuan yang ada, mencoba melakukan itu. Calon tenaga kerja yang terdaftar dididik dengan keterampilan khusus yang dibutuhkan di pasar kerja luar negeri, lalu ditempatkan bekerja untuk periode tertentu dalam program Diaspora Development,” jelas Bang Jay.
Menariknya dari program ini, kata Bang Jay, pekerja di berikan biaya berupa dana bergulir, yang dipinjamkan kepada calon tenaga kerja, dan dibayar dengan cara mencicil setelah mereka bisa bekerja di luar negeri
Sementara untuk meningkatkan kemampuan intelektualitas mereka, di luar jam kerja para tenaga kerja peserta Diaspora Development dapat melakukan aktivitas lain yaitu kuliah, dari D3 sampai S1 secara online. Beberapa perguruan tinggi pelaksana pendidikan online yang direkomendasikan SEAMOLEC sudah bekerja sama untuk program ini
Bang Jay juga menerangkan, selama program berlangsung, para peserta akan mendapatkan pendampingan dari Dompet Dhuafa. Harapannya, mereka tidak selamanya bekerja di luar negeri. Kelak setelah mereka memiliki uang dari hasil kerja di luar negeri, mereka diharapkan kembali membangun desanya masing-masing.