Akhir pekan lalu, 1000 lebih pengungsi dan pencari suaka yang berasal dari Rohingya dan Bangladesh mendarat di Indonesia dan Malaysia. Dilaporkan, empat kapal kayu dilaporkan bersandar di Pantai Seunuddon, Lhoksukon, Aceh pada Minggu (10/5/2015). Sebelum ditarik nelayan, kapal-kapal sarat pengungsi itu terombang-ambing di laut lepas Aceh. Dugaan awal, kapal tersebut kehabisan bahan bakar. Namun, ada pula dugaan kapal tersebut ditinggalkan oleh penyelundup di tengah lautan.
International Organization for Migration (IOM) mensinyalir, masih ada ribuan orang lainnya yang terombang-ambing di tengah lautan dalam perjalanan mereka menuju negara tujuan. Diperkirakan, sekitar 7.000-8.000 orang masih tertahan di banyak kapal besar dan kecil di perairan Selat Malaka dan perairan internasional lain. Ketatnya penjagaan oleh Polisi Malaysia dan Thailand mengakibatkan banyak kapal yang digunakan untuk penyelundupan tertahan di lautan tanpa ada kepastian bisa bersandar.
Kondisi ini tentu saja sangat mengkhawatirkan mengingat bekal makanan para penumpang sangat terbatas. “Kami tak punya apa pun untuk dimakan. Sepanjang perjalanan kami hanya bisa berdoa,” ujar Rashid Ahmed (43) sebagaimana disitat Kompas, Senin (11/5/2015).
Mereka berlayar dari Rakhine, Myanmar sejak tiga bulan sebelumnya. Mereka hendak ke Thailand dan Malaysia. Arus pengungsi dari Rohingya memang terus membanjiri Indonesia sejak tahun 2009. Sebagian menjadikan Indonesia sebagai negara transit sebelum mencoba menyeberang ke Australia.
Mereka terusir dari tanah mereka di Myanmar karena konflik komunal yang terjadi selama beberapa tahun belakangan. Mereka hidup menderita karena diskriminasi pemerintah dan kelompok agama tertentu di sana. Padahal pada Desember lalu Perserikatan Bangsa-Bangsa mendesak pemberian hak kewarganegaraan penuh pada Rohingya. Pegiat HAM, Heru Susetyo mengatakan, orang Rohingya tidak memiliki teman di negaranya sendiri. “Sekitar 100.000 orang Rohingya terusir dan mengungsi ke tempat-tempat yang tidak aman,” katanya.
Direktur Arakan Project, Chris Lewa mengatakan, 100 ribu lebih orang Rohingya yang kabur dari Myanmar dalam tiga tahun terakhir. Lewa memperkirakan ada 7.000 hingga 8.000 etnis Rohingya dan Bangladesh dalam perahu yang parkir di Selat Malaka. “Mereka tidak bisa ke darat karena razia perdagangan manusia di negara tujuannya, Malaysia dan Thailand,” katanya sebagaimana dilansir Tempo.co dari Aljazeera America.
Sebagai negara maritim yang luas, Indonesia menjadi salah satu tujuan imigran gelap, atau setidaknya menjadi wilayah transit. Berdasarkan data terakhir yang dirilis komisi PBB yang khusus menangani pengungsi atau United Nation High Commisioner for Refugees (UNHCR) pada Mei 2014 lalu, setidaknya 10.623 imigran masuk ke Indonesia sejak Januari hingga Maret 2014. Jumlah itu meningkat sangat signifikan dibandingkan tahun lalu, di mana sejak periode Januari hingga Desember 2013 hanya sekira 8.332 imigran. Dari 10.623 imigran itu, 3.405 di antaranya merupakan pengungsi, sementara sisanya 7.218 imigran merupakan pencari suaka.
Jumlah pengungsi atau pencari suaka terbanyak berasal dari Afghanistan, yaitu 4.402, diikuti Iran 1.010 orang, dan Myanmar 783 orang.
Dari 10.623 imigran itu, 1.771 di antaranya kini tengah ditampung di 13 rumah detensi imigrasi (rudenim) yang ada di seluruh Indonesia. Pembagiannya, 1.279 imigran pencari suaka, dan 492 imigran pengungsi. Sementara sisanya telah disalurkan ke komunitas-komunitas tertentu maupun ke negara ketiga. Ada pula yang kemudian dikembalikan ke negara asalnya, karena tidak memenuhi syarat mencari suaka.