Relokasi warga yang tinggal di bantaran kali Ciliwung, Kampung Pulo Jakarta Timur berlangsung ricuh. Warga yang tidak terima tempat tinggalnya digusur paksa melakukan perlawanan. Mereka melempari petugas dan alat berat yang akan menghancurkan bangunan.
Petugas gabungan dari Satpol PP dan Kepolisian yang “siap perang” tak mau kalah. Mereka menangkap dan memukuli warga yang dianggap provokator. Gas air mata ditembakkan ke tengah warga yang berkerumun. Baku hantam tak terhindarkan, korban luka pun berjatuhan.
Suasana panas dan kacau. Mobil eskavator hangus dibakar massa. Beberapa petugas, baik dari Satpol PP dan Polisi bersimbah darah. Warga pun banyak yang legam kena hantam.
Apa yang terjadi di Kampung Pulo hanyalah salah satu potret penggusuran paksa yang terjadi di Jakarta selama tahun 2015 ini. Juni lalu, Pemkot DKI menggusur puluhan rumah di Pancoran Jakarta Selatan. Masih di bulan yang sama, Satpol PP juga menggusur ratusan rumah di Pinangsia, Jakarta Barat.
Selama ini, pemerintah selalu menggunakan dalih “demi ketertiban umum” ketika menggusur warga. Dalih ini semacam kalimat ampuh untuk mengusir warga dari rumah yang konon sudah ditempati puluhan tahun. Pemerintah kerap abai dengan nasib mereka setelah digusur.
Aktivis dan pendiri Urban Poor Consortuium (UPC), Wardah Hafidz menuding Pemerintah DKI telah melanggar HAM. Ia berdalih, Indonesia telah meratifikasi konvensi internasional tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk di dalamnya hak atas perumahan. “Kepemilikian atas rumah itu adalah hak, pemerintah tidak boleh sewenang-wenang,” ujarnya saat dihubungi KBK, Jumat (21/8/2015).
Wardah menambahkan, penggusuran paksa dalam praktiknya tidak hanya melanggar hak atas tempat tinggal, melainkan juga hak atas pekerjaan yang layak. Ketika warga digusur, terlebih tidak mendapat ganti yang dekat dengan tempat tinggal asal, warga terancam pekerjaannya selama ini.
Wardah juga mengkritik Gubernur DKI, Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang tak mau mendengar warga dan bersikap diskriminatif. “Yang terjadi selama ini bukan negosiasi, Ahok tidak pernah mau mendengar warga. Mereka justru menyiapkan polisi dan water canon, ini menimbulkan ketegangan sosial,” tegasnya.
Demikian halnya dengan ganti rugi tanah. Banyak warga yang mengaku memiliki sertifikat atau dokumen kepemilikan rumah lainnya di Kampung Pulo. Mereka juga telah tinggal selama puluhan tahun. Oleh karenanya, wajar bagi warga untuk meminta ganti rugi. Pasalnya, di rusun yang disiapkan, mereka tidak gratis dan harus bayar sewa.
Dalih “demi ketertiban umum” atau “normalisasi sungai” yang dipakai pemerintah selama ini juga dinilai bias. Wardah justru menuding Ahok membela kelas menangah dan pemilik modal. Sebagai contoh, perumahan mewah di Pluit, termasuk di dalamnya kediaman Ahok semestinya diperuntukkan hutan bakau dan resapan, bukan untuk perumahan. Ahok dinlai hanya keras terhadap orang miskin. “Kalau atas nama umum, mestinya rumah dia juga dibongkar. Dia harus konsisten, karena selama ini yang digusur hanya yang miskin-miskin,” katanya.
Moratorium Penggusuran Paksa
Belajar dari kasus di Kampung Pulo, Wardah mengusulkan adanya moratorium penggusuran paksa. Pemerintah harus membangun dialog yang konstruktif dengan warga, sampai ada titik temu. “Jakarta tidak boleh dikembalikan seperti jaman Orde Baru yang semena-mena,” tambah Wardah.
Selain itu, pemerintah harus menyiapkan tempat pengganti terlebih dahulu sebelum menggusur warga. Tempat tinggal ganti juga harus memiliki jarak yang dekat dengan tempat tinggal asal, sehingga warga tetap bisa mengakses pekerjaannya yang lama dengan mudah.
Pemerintah daerah juga semestinya bisa mengintegrasikan dengan program 1 juta rumah yang digulirkan pemerintah pusat. Dengan demikian, potensi ketegangan bisa diminimalisir, yang lebih penting lagi win-win solution bisa dicapai. Ketertiban umum bisa terlaksana, warga juga tidak terdzalimi.