Resapi Sumur Resapan

Barisan sumur resapan di badan jalan, sungguh pemandangan yang bikin sepet mata.

 

          BANJIR memang akrab sekali dengan Jakarta. Untuk mengatasinya, beda gubernur beda konsep. Bila gubernur-gubernur sebelumnya dengan pelebaran dan pengerukan (normalisasi), Gubernur Anies Baswedan punya konsep drainase vertikal alias sumur resapan, di samping naturalisasi tanggul sungai. Faktanya, meski sudah banyak dibangun sumur resapan, banjir terus mengunjungi Jakarta dan publik pun mulai meragukan konsep itu. Entah siapa yang benar, sebaiknya kita resapi dulu soal resapan air di ibukota negara ini.

Ingat ketika Anies Baswedan mau Nyagub DKI 5 tahun lalu, di depan massa pendukungnya dia bilang, sunatullah air itu ya masuk ke bumi, bukan dialirkan ke laut lewat gorong-gorong raksasa. “Jakarta telah mengambil keputusan yang fatal!” kata Anies Baswedan kala itu. Terlepas cara-cara memenangkan kompetisi, Anies Baswedan ditakdirkan untuk memimpin DKI Jakarta hingga Oktober 2022 mendatang.

Tugas utama Gubernur Anies setelah di Balaikota, di antaranya menyelesaikan persoalan banjir langganan lama. Tapi sayang, program normalisasi kali Ciliwung yang baru dapat separo oleh Gubernur Ahok tak dilanjutkan, karena beliaunya lebih mantap dengan teori naturalisasi yang lebih alami. Tapi sayangnya, meski sudah didesak-desak oleh Kementerian PUPR untuk segera eksekusi, tetap saja alami dalam artian: tak dikerjakan juga!

Rupanya Anies lebih mantul (mantap betul) dengan konsep drainase vertikal atau sumur resapan bahasa sederhananya. Sesuai dengan sunatullah bahwa air harus dimasukkan ke bumi bukan dibuang ke laut, maka di Jakarta digalakkan pembangunan ribuan sumur resapan, setiap RT punya 7 buah. Untuk tahun 2021-2022 ditargetkan bisa dibangun 300.000 sumur resapan dengan anggaran Rp 400 miliar.

Maka sekarang boleh disaksikan, di wilayah Jakarta Pusat, Timur, Barat sampai Selatan, banyak dibangun sumur resapan. Cuma yang unik sekaligus aneh. Sumur tersebut dibangun bukan di titik terendah di lokasi tersebut, tapi justru di badan jalan. Jika suatu saat jalan itu dilapis ulang aspalnya, apakah lobang sumur resapan itu tidak tertutup? Mestinya, sumur resepat tersebut dibangun menyatu dengan saluran yang ada di situ, sehingga air bisa lebih cepat terserap ke bumi.

Paling lucu, ada sejumlah sumur resapan yang dibangun di trotoar. Di mana-mana karakter air kan mengalir ke daerah rendah. Lha kalau sumur resapannya justru lebih tinggi dari permukaan air, jelas air takkan bisa masuk. Ataupun masuk pun tidak maksimal. Sampai di chanel Youtube Pra Kontro disindir oleh Eko Kunthadi, nanti akan dibangun tangga agar air naik lewat tangga itu dan baru masuk ke sumur resapan.

Eks politisi Demokrat Ferdinand Hutahean menyosoti dari sisi biaya, bahwa proyek itu  mark upnya luar biasa. Bagaimana mungkin sumur resapan bergaris tengah  1 meter dan berkedalaman 3-4 meter kok anggarannya sampai Rp 80 juta perbuah. Karenanya dimintanya KPK menelisik juga. Kontraktor memang harus untung, tapi yang wajar dong. Atau memang ada prinsip “semua kebagian”?

Sekarang di mana-mana ada sumur resapan, tapi di mana-mana juga ada masalah. Soalnya meski sudah banyak sumur resapan banjir terus ada di Ibukota. Maka penduduk setempat menyayangkan, sumur resapan Gubernur Anies tak menyelesaikan masalah. Bahkan teori air akan segera surut lewat sumur tersebut, tak seluruhnya benar. Ketika dasar sumur di bawah sana belum membentuk lumpur, memang air mudah meresap. Tapi ketika lumpur itu telah terbentuk, otomatis air yang mustinya turun ke bawah, terkendala oleh lumpur-lumpur itu.

Kesimpulannya, sumur resapan tak menyelesaikan masalah. Setelah banyak keluhan dari masyarakat, tahun 2022 mendatang DPRD DKI bermaksud memangkas anggaran proyek sumur resapan tersebut. Sayang kan,  uang negara dihambur-hamburkan untuk konsep yang tak jelas itu. Namun demikian dampak dari program sumur resapan itu harus kita resapkan dalam hati bahwa ternyata terlalu banyak teori  hasilnya malah bau terasi. (Cantrik Metaram).