Desakan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersikap tegas, tidak surut nyalinya, untuk menghadirkan, jika perlu dengan pemanggilan paksa, tersangka kasus korupsi dan gratifikasi terhadap Gubernur Lukas Enembe yang terus mangkir.
Enembe yang diduga menerima suap Rp1 miliar terkait proyek yang didanai APBD Papua dan menyetor uang 50 juta dollar Singapura atau setara Rp560 miliar tidak hadir dengan alasan sakit pada pemanggilan pertama 12 Sept. di Mapolda Brimob, Jayapura dan panggilan kedua di Gedung KPK Jakarta, 26 Sept. dengan alasan sakit.
Kuasa Hukum Lukas, Stefanus Roy Rening mewakili kliennya menyebutkan, Lukas bukanya tidak mau hadir, apalagi takut diperiksa KPK, tetapi memang mengalami komplikasi penyakit, walau ia tak menyertakan rekam medis atau dokter yang mendiagnosanya.
Bahkan menjelang jadwal pemeriksaan pertama oleh KPK, ribuan massa pendukung Lukas turun ke jalan-jalan, menolak apa yang disebut sebagai “aksi kriminalisasi” terhadapnya.
Roy sebelumnya dengan nada enteng juga menganggap segala tuduhan terhadap kliennya hoaks, mengingat kepergannya ke Singapura, Filipina dan Malaysia untuk berjudi, hanya sekedar upaya penyembuhan (healing).
Ia juga mengaku, Lukas tidak menggunakan uang negara (dari APBN atau APBD) untuk menyetor uang sebanyak itu ke kasino, melainkan uang dari hasil usaha tambang emas di kampungnya.
Alih-alih membujuk kliennya untuk bersedia memenuhi panggilan KPK, Roy malah mengusulkan agar Lukas diiiznkan untuk berobat ke luar negeri.
Tentu saja KPK tak mengabukan permintaannya, karena kondisi kesehatan Lukas belum jelas, lagian berobat di dalam negeri juga bisa dilakukan.
Namun lagi-lagi, Roy tidak menyertakan bukti kepemilikian uasha tambang emas tersebut, dimana lokasinya, berapa hasil keuntungannya, bagaimana bentuk perusahannya dan data lainnya.
Tidak kurang dari Presiden Jokowi, Menkopolhukam dan sejumlah pakar dan praktisi hukum meminta agar Lukas memenuhi panggilan KPK dan mengklarifikasi semua bukti-bukti yang membuatnya ditetapkan sebagai terangka oleh KPK.
“Di depan hukum, setiap warga negara Indonesia berkedudukan sama, “ ujar Presiden Jokowi yang meminta agar Lukas kooperatif dalam merespons dugaan kasus suap dan gratiikasi yang menjeratnya.
Panggil Paksa
Sedangkan Menkopolhukam Mahfud MD mengingatkan, setelah mengabaikan panggilan pertama, kedua dan ketiga, KPJ bisa melakkan pemanggilan paksa dan statusnya menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO).
Mahfud dengan geram menyebutkan, dana Otsus Papua yang digelontorkan sejak 2001 untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan rakyat yang totalnya sekitar Rp1000 triliun, sebagian dhambur-hamburkan dan digunakan berfoya-foya oleh oknum pejabat, baik di pusat mau pun daerah.
Ironisnya, lebih 922-ribu atau lebih seperempat dari 3,5 juta penduduk Papua berada di baah garis kemiskinan, ditandai dengan gizi buruk, tingkat mortlitas dan angka dropp-out sekolah yang tinggi, sementara pembangunan prasarana dan fasilitas umum juga rendah.
Sementara Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango juga mengingatkan, pihaknya tidak ragu menerapkan Pasal 21 UU Tipikor terhadap mereka yang sengaja menghalang-halangi penyidikan kasus tersebut, selain tersangka juga pengacaranya.
Dalam Pasal 21 UU Tipikor disebutkan: “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka, terdakwa atau para saksi dalam perkara korupsi , dipidana paling singkat tiga tahun, paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta, paling banyak Rp600 juta.
Sedangkan mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menilai, mangkirnya Lukas dari dua kali pemanggilan oleh KPK merupakan contoh buruk yang dilakukan tokoh sekelas gubernur yang seharusnya menjadi panutan terkait kepatuhan pada hukum.
Dia bisa saja tidak hadir dari pemanggilan KPK, asal alasannya jelas, benar-benar dalam keadan sakit yang dibuktikan dokter yang ditunjuk. Di depan penyidik, nantinya ia dapat menglarifikasi atau menampik segala tuduhan yang dialamatkan padanya.
Otsus, Gagal Total
Sedangkan Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyebutkan, apa yang terjadi di Papua adalah kegagalan total Otsus yang hanya dijadikan bancakan para elite dan politisi, pusat mau pun daerah.
Praktek korupsi tumbuh subur dan leluasa di provinsi terujung timur NKRI itu, karena pelakunya sering berlindung di balik kerawanan politik yang gampang dikapitalisasi oleh KKB atau gerakan separatis.
Jika sistem pengawasan berjalan, kan ada Inspektorat Jenderal, inspektorat wilayah, BPK, BPKP, DPR, DPRD dan banyak insitusi pengawasan lainnya? Kemana saja mereka selama ini?
Jadinya, pembiaran dan “praktek aji mumpung” oleh oknum elite atau politisi pusat dan daerah berlangsung dengan leluasa selama bertahun-tahun.
Dalam kasus Lukas, jangan kan uang milik pribadinya, sebagai gubernur atau pemimpin rakyat yang harus jadi panutan, bermain judi tentu melanggar etika dan moral, apalagai jika itu uang rakyat, baik dari APBN, APBD atau asset kekayaan lainnya.
Pak Jokowi, mumpung masih ada waktu setahun lebih sisa pemerintahan bapak, reformasi total pemda-pemda, dimulai dengan mengusut tuntas kasus Lukas Enembe dan kroni-kroninya di Pemda Papua!