JAKARTA – Wakil Perdana Menteri Tiongkok Liu Yandong, memberikan kuliah umum di Auditorium FISIP UI, Rabu 27 Mei 2015 lalu, yang menyatakan akan mengirimkan 10 juta warga negaranya untuk migrasi ke Indonesia demi mencapai kerjasama yang ideal antara Indonesia dan Tiongkok dalam berbagai bidang.
Lalu, 23 Juni 2015, Teten Masduki, yang saat itu menjabat sebagai Tim Komunikasi Presiden memaparkan rencana Presiden Joko Widodo untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.
Pertanyaannya, apakah rencana revisi PP itu dalam rangka memuluskan 10 juta warga Tiongkok masuk Indonesia? Menurut Pribumi News, (24 Juni 2015), isu tentang rencana pemerintahan Jokowi-JK memberikan orang asing ijin untuk memiliki properti di Indonesia ini sebenarnya sudah berhembus lama semenjak kampanye pemilihan presiden. Dan beberapa saat yang lalu mulai terbukti, dan kini hampir terealisasi. Rencana tersebut juga pernah dinyatakan Menteri Keuangan Bambang Bodjonegoro, pada Rabu (13/5/2015).
Direktur Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta (IEPSH), Hatta Taliwang berpendapat, migrasinya warga Tiongkok ke Indonesia akan berpeluang memunculkan isu-isu politik yang luar biasa dahsyat. Dan menimbulkan persaingan budaya antara Warga Tiongkok dengan Pribumi. Terjadi pertarungan untuk mempertahankan siapa yang lebih dominan.
Hal yang sama juga diungkapkan, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Eddy Ganefo. Menanggapi peluang yang diberikan Pemerintah Jokowi kepada warga asing untuk tinggal di Indonesia dengan merubah PP tersebut sebagai wujud lunturnya nasionalisme. Peraturan tersebut akan menguntungkan asing dan merugikan bangsa sendiri.
Tokoh pergerakan dan reformasi yang juga pendiri sekaligus Ketum Partai PUDI Dr. Ir. Sri Bintang Pamungkas pernah memberikan peringatan kepada publik akan bahaya langkah-langkah yang diambil pemerintahan Jokowi-JK itu.
Sri Bintang menilai percepatan proyek pembangunan hotel, apartemen, menara kondominium dan properti lainnya, adalah untuk tujuan itu; menampung 10 jutaan warga negara Tiongkok yang akan segera datang ke Indonesia. Bukan sekedar berkunjung, tapi menetap selamanya.
Dengan memberikan ijin kepada asing untuk memiliki properti di Indonesia, menurut Pamungkas, dengan begitu warga negara Tiongkok yang berdatangan akan secara sah memiliki properti di Indonesia. Memudahkan mereka untuk juga secara sah menjadi warga negara Indonesia. Bahkan, untuk memuluskan rencana ini, pemerintah akan mempermudah mendapatkan KTP Indonesia. Di belakang layar dikhawatirkan adanya pergerakan mafia pemalsuan KTP, yang bermain untuk memudahkan asing menjadi warga Indonesia.
Ketua Umum APERSI Eddy Ganefo sangat mengkhawatirkan nasib masyarakat miskin di Indonesia. Mereka tidak akan mampu membeli rumah, karena harga tanah dan rumah akan menjadi tinggi akibat kerakusan para pengembang real estate yang berusaha mengambil keuntungan setinggi-tingginya.
” Harga properti makin tinggi, warga miskin tak mampu membeli. Dan kemudian menjadi gembel di negerinya sendiri, sedangkan orang asing menjadi majikannya,” jelas Eddy.
“Kalau kondisinya seperti itu, kita tidak mungkin lagi bisa membangun rumah murah untuk rakyat. Sebanyak 15 juta kepala keluarga atau sekira 60 juta rakyat Indonesia belum memiliki rumah dan sebagian besar dari mereka adalah rakyat miskin dan MBR,” terang Eddy Ganefo.
Bebas Visa untuk Warga Tiongkok
Kemarin, 2 September 2015, Kantor Berita Antara memberitakan, Anggota DPR RI meminta dengan tegas kepada pemerintah untuk mencabut bebas visa bagi warga Negara Tiongkok yang masuk ke Indonesia. Menurut Wihadi Wiyanto, Anggota Komisi III DPR RI bebas visa yang diberikan pemerintah kepada warga Tiongkok, sudah banyak disalahgunakan.
“Pemerintah diminta untuk mencabut bebas visa kepada warga Tiongkok karena dengan bebas visa itu, mereka menyalahgunakannya,” kata Wihadi, Rabu (02/09/2015).
Ia mencontohkan, penyalahgunaan visa tersebut banyak dilakukan di sektor informal seperti pariwisata. Mereka bebas bekerja karena bebas visa yang diberikan dan mereka dapat waktu satu bulan. 1 bulan mereka kerja, lalu balik dan besoknya balik lagi dan sampai bekerja lagi di Indonesia.
“Sektor informal mereka sudah bekerja dan tidak terdaftar di Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Pariwisata. Artinya sektor informal ini sekarang sudah digerogoti oleh Tiongkok,” kata politisi Partai Gerindra itu.
Selain meminta pemerintah untuk mencabut bebas visa bagi warga Tiongkok, Komisi III DPR RI akan membentuk Panitia Kerja (Panja) Pengawasan Tenaga Kerja Asing dan Orang Asing. Panja ini akan melibatkan Imigrasi dan Kepolisian.
Menggeser Pribumi
Nandang Burhanuddin, 31 Mei 2015 lalu menulis di Voa Islam, jumlah penduduk Tiongkok akan menggeser kaum pribumi. Di kota-kota besar, seperti Medan, Makassar, Kalimantan Barat, Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Surabya, warga asal Tiongkok sudah mulai menggeser penduduk pribumi.
Diceritakan Nandang, ketika Ia menjadi dosen di Kolej Islam Muhammadiyah Singapore, ia mengamati tingkah polah orang Melayu dan orang Tiongkok di sana. Kendati minoritas dan kurang dari 15 %, orang Melayu menempati posisi dalam segala bidang kehidupan. Sementara warga Tiongkok Singapore yang didatangkan dari Tiongkok langsung bertingkah seperti superior.
Menurutnya obrolan yang ia tangkap 3 tahun lalu menjadi kenyataan kini. Jika kita diam, pribumi Indonesia benar-benar akan meratapi nasib seperti bangsa Melayu Singapore atau bangsa Arab Palestina. Obrolan itu adalah, seputar target Tiongkok berdiaspora di ASEAN yang akan menguasai seluruh negara dan menargetkan jumlah total etnis Tiongkok sebesar 70 juta jiwa dengan kekuatan full di ekonomi dan teknologi.
Nah bila pernyataan Wakil Perdana Menteri Tiongkok Liu Yandong, yang menargetkan sepuluh juta warga Tiongkok ke Indonesia pada 2020 benar adanya, maka kendati memunculkan kontroversi, rencana itu bisa dipersepsikan sebagai upaya ‘mengimpor’ imigran dari Tionkok ke Indonesia. Bila di berita ramainya 10 juta jiwa produktif, maka pada kenyataannya akan lebih dari 2 kali lipat.
Kita paham, lanjut Nandang, Indonesia sangat rapuh dan lemah dalam hal data kependudukan. KTP dan KK mudah dibuat dengan fulus. Wilayah Indonesia yang luas, sangat sulit dikontrol. Migrasi Tiongkok bisa via laut atau daratan Indonesia, hingga pulau-pulau terluar. Nah itu dulu. Kini setelah era Jokowi, hal-hal sulit tak lagi perlu terjadi. Jokowi sudah memfasilitasi dan rakyat Indonesia sangat murah hati, mengimpor pekerja-pekerja Tiongkok dengan triliunan devisa negara yang tak lain pajak rakyat.
Jika saat ini jumlah etnis Tiongkok di Indonesia berkisar 15-20 juta, dipastikan akan melesat tajam di tahun 2020. Dengan kejayaan ekonomi dan uang yang berlimpah, etnis Tiongkok tak akan terbendung menjajah suku-suku pribumi yang semakin minoritas.
Strategi Cina benar-benar menerapkan strategi Yahudi menyingkirkan rakyat Pribumi Palestina dan strategi Singapore yang menyingkirkan rakyat melayu. Bagi mereka, era Jokowi adalah anugerah setelah era Gus Dur. Namun kebanyakan umat Islam tersihir, hingga tak sadar akan proyek “Tiongkoknisasi Indonesia.”