spot_img

Batik Telah Mendunia

SIAPA yang tak pernah pakai batik? Rasanya tidak ada! Dari pejabat sampai rakyat, semua punya. Ada yang dipakai secara insidentil ada pula yang menjadi keseharian. Bagi yang tidak tahu malah menduga, setiap hari kondangan melulu, apa nggak capai angpauw-nya? Tetapi memang begitulah, batik tak sekedar merakyat tapi juga mendunia. Mungkin pembaca masih ingat, dalam Konperensi APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) pertengahan Nopember 1994 di Istana Bogor, para pemimpin dunia bersama Presiden Soeharto semuanya mengenakan batik.

Tanggal 2 Oktober 2023 lalu, adalah peringatan Hari Batik Nasional. Hari itu 14 tahun yang lalu, batik Indonesia memperoleh pengakuan UNESCO. Dalam sidangnya yang ke-4 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA) pada 2 Oktober 2009, UNESCO mengukuhkan bahwa batik Indonesia merupakan Warisan Budaya Nonbendawi. Untuk mengenang momen tersebut, Presiden SBY menerbitkan Kepres No 33 Tahun 2009 yang menetapkan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional.

Hal ini dimaksudkan sebagai usaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap upaya perlindungan dan pengembangan batik Indonesia. Padahal sebetulnya sih, sejak era Orde Baru batik Indonesia sudah mulai berkembang. Sebelum itu batik hanya dikenal masyarakat Jawa dan Betawi. Di Jawa dikenal dalam bentuk kain untuk berkebaya, sedangkan dalam masyarakat Betawi batik dipakai untuk celana panjang.

Wanita berkain batik, ketika melangkahkan kaki dan kemudian terlihat betisnya sepintas, itu sensual sekali, mengingatkan pada lagu “Putri Solo” yang sangat legendaris. Tentu saja sensualitas itu muncul tergantung pada siapa pemakainya. Jika orangnya cantik macam pemain sinetron seribu episode, langkah kakinya membangkitkan rasa sensualitas tersendiri. Tapi jika orangnya jelek, item dan gembrot, meskipun dia berdandan ala Putri Solo, langkahan kakinya takkan dilirik orang.

Wanita Aisyiah – Muhammadiyah juga punya seragam berkebaya batik sejak tahun 1985. Baju atas kembang-kembang berwarna hijau pupus, dan bawahan kain batik. Tetapi tampilan kain batiknya tak seapik Putri Solo. Punya Aisyiah cenderung lebih longgar. Hanya semakin ke sini, ketika anggotanya sudah banyak dari kalangan Gen-Z, kainnya dibikin semakin longgar agar bebas bergerak. Tapi maaf, semakin longgar itu kain, kok kesannya jadi seperti kain batiknya wayang golek Sunda!

Di masa Orde Lama, kain batik –tepatnya disebut jarit– merupakan komoditas non migas bagi rakyat kecil. Ketika keslepek butuh (perlu uang mendadak), kain jarit tulis (bukan cap) laku sebagai agunan di Kantor Pegadaian. Bahkan ketika orang mau pinjam uang tapi adanya hanya kain jarit, akhirnya diterima  juga itu barang. “Ning aja lali nebus ya, mengko ndak bur…..(jangan lupa nebus, nanti keburu dilelang).”  Kata pemilik wanti-wanti.

Memasuki Orde Baru, posisi batik naik kelas. Kain jarit biasanya untuk pakaian bawahan ketika berkebaya, naik kelas dijadikan baju bahkan jas. Di Jakarta, pelopornya Gubernur Ali Sadikin (1966-1977), itu juga karena “diprovokasi” oleh pengusaha Abdul Latief. Lama-lama Bang Ali menyadari bahwa pejabat di Indonesia termasuk Pemprov DKI tentunya, merasa lebih bergengsi bila mengenakan pakaian resmi pantalonan atau jas-jasan ala Barat. Padahal ongkos jahitnya saja, jika pesan pada Sriwisnu Taylor sudah muahal!

Sekali waktu Abdul Latief menyiapkan baju khusus untuk Bang Ali –jangan-jangan kerjasama dengan Iwan Tirta– dalam bentuk hem panjang tapi dari kain batik. Ternyata gubernur ke-7 Jakarta itu sangat terkesan. Ini pakaian nasional Indonesia yang membabat kelas sosial dalam masyarakat. Maka pada tanggal 14 Juli 1972 Bang Ali menetapkan batik sebagai pakaian resmi untuk pria di wilayah DKI Jakarta, termasuk pegawai Pemprov DKI tentunya. Gebrakan Bang Ali ternyata berimbas ke Istana juga, terbukti sebulan kemudian, dalam acara HUT RI 17 Agustus 1972 selurah pegawai Istana mengenakan batik. Dan sejak itu pula batik menjadi pakaian resmi secara nasional.

Korpri yang terbentuk 29 Nopember 1971, kemudian juga menjadikan hem batik sebagai pakaian PDU (Pakaian Dinas Upacara). Misalnya, upacara HUT Korpri pada 29 November, upacara rutin tanggal 17 setiap bulan, upacara Hari Besar Nasional, dan rapat pertemuan Korpri. Paling kurang ajar adalah, pernah PNS yang terkontaminasi kaum kadrun, memperkosa seragam Korpri menjadi gamis dengan setelan celana cingkrang dan dagu berjenggot.

Seiring dengan semakin populernya batik, pengusaha batik papan atas bermunculan. Setelah ada batik Iwan Tirta, muncul kemudian Batik Keris dan Batik Danarhadi, di mana keduanya berasal dari Solo. Sebetulnya Batik Keris sudah hadir sebelum Indonesia merdeka. Tapi berkat booming batik di era Orde Baru, Batik Keris pun ikut berkibar. Namun batik paling legendaris –terutama bagi penggemar kethoprak mataram– tak lain adalah Batik Madrim patih Anglingdarma dari negeri Mlawapati.

Penulis sendiri mengenakan batik dalam keseharian sejak tahun 1990-an. Bukan karena pengin tampil keren macam Bang Ali, tapi karena demi kepraktisan semata. Ketika HP menjadi kebutuhan, kantongi HP di saku atas atau saku celana rasanya kok ribet amat. Mau pakai baju berkantong banyak ala Prabowo, penulis kan bukan Capres. Akhirnya baju batik motif Bali menjadi pilihan karena ada kantong di bagian bawah.

Sejak itulah baju batik menjadi “pakaian dinas” ke kantor, sampai-sampai diledek rekan-rekan, “Tiap hari kondangan melulu, apa nggak capek angpauw-nya?” Padahal batik-batik tersebut tidak selalu beli. Kebanyakan dari “sponsor”, misalnya jadi panitia mantenan, dapat bingkisan dari seseorang. Cuma setelah kerja lewat online, baju-baju batik itu kebanyakan tergantung di hanger saja. (Cantrik Metaram)

spot_img

Related Articles

spot_img

Latest Articles