spot_img

Uang Operasional RT-RW

BERBAHAGIALAH menjadi Ketua RT dan RW di DKI Jakarta. Setelah masa jabatan ditingkatkan dari 3 tahun menjadi 5 tahun oleh Gubernur Anies Baswedan, kini DPRD-nya sedang memperjuangkan uang operasionalnya dinaikkan. Padahal kenyataannya, sejumlah RT-RW yang tak punya penghasilan sendiri, dana operasional RT RW ini berbelok arah menjadi “dana operasional” rumahtangganya sendiri. Bahkan ada oknum RW yang memanfaatkan nama besar istrinya untuk menilep sumbangan pembangunan gapura RW. Korupsi Rp 50 jutaan untuk kelas RW cukup gede itu!

Sejak tahun 2018, honor RT Rp 2 juta sebulan dan RW Rp 2,5 juta sebulan. Tapi mereka tak terima glondongan saja, harus ada LPJ-nya yang diserahkan ke lurah setiap 3 bulan sekali. Bahkan di era Gubernur Ahok BTP dulu, setiap RT-RW harus mengikuti aplikasi QLUE lewat HP, sehingga kegiatan RT-RW bisa dipantau langsung dari Balaikota. Tapi karena banyak Ketua RT-RW masih gaptek, program itu tak jalan.

Menjadi RT-RW itu tugas sosial kemasyarakatan yang gampang-gampang susah, yang berat-berat enteng! Bagaimana tidak, jumlah honornya begitu enteng (baca: tak seberapa), tapi jadi berat ketika salah dalam mengambil kebijakan bisa dibully warganya. Padahal jadi RT-RW itu banyak yang bukan panggilan jiwa, tapi ditodong masyarakatnya gara-gara yang lain tidak mau. Celakanya, karena yang lain tidak mau, meski RT-RW-nya sudah tidak mau lagi menjabat, masih dipaksa-paksa untuk mau.

Karena jadi RT-RW hasil todongan,  banyak RT-RW yang tidak paham tentang apa tugas RT-RW itu. Bagi mereka yang awam, yang penting pelayanan tanda tangan untuk berurusan dengan kelurahan tidak terganggu. Bagaimana lingkungannya harus aman, tertib, rapi dan bersih, sebodo amat! Sebab banyak juga RT-RW yang “putus asa” karena tak semua kebutuhan infrastruktur RT-RW yang diusulkan ke Pemprov DKI, tercover lewat Musrembang.

Sejak era reformasi, beban RT-RW bertambah berat. Soalnya aturan bahwa setiap RT terdiri dari 40 KK tak lagi berjalan efektip. Lazimya, ketika jumlah warga sudah layak dipecah menjadi 2 RT, pihak kelurahan akan melakukan pemecahan tanpa warga bisa membantah. Sekarang, 1 RT terdiri 100 KK menjadi hal biasa di Ibukota. Sebab warga tidak mau dimekarkan dengan alasan berdampak pada perpanjangan STNK kendaraan dan pembayaran PBB.

 Banyak juga warga yang sudah tidak tinggal di wilayah tersebut, tapi belum juga mengurus surat pindah. Giliran diminta uang iuran warga, menolak dengan alasan sudah tidak tinggal di situ dan tidak menerima pelayanan dari RT setempat. Ini kan geblek namanya, hanya mau enaknya tapi tak mau tanggung resikonya. Untung saja Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI segera menonaktifkan data kependudukan usai Lebaran 2023 lalu. Ada 194.397 data kependudukan yang dihapus.

Sekarang ini memang jamannya periode 5 tahunan. Biasanya masa jabatan yang dibatasi 5 tahun itu hanya Presiden dan Wakilnya, anggota DPR. Tapi sekarang Ketua MK, Ketua KPK juga menjadi 5 tahunan. Bahkan hanya tingkat RT-RW saja masa jabatannya diulur sampai 5 tahun. Gubernur Anies di DKI Jakarta melakukan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasayarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa.

 Kebijakan ini tentu saja sangat menolong bagi Pak RT dan Pak RW yang tidak punya sumber pengasilan lain, misalnya karyawan swasta, ASN, pensiunan atau pelaku bisnis. Dengan dana bulanan Rp 2 juta untuk RT dan Rp 2,5 juta untuk RW sangat menyumbang asap di dapur tetap ngebul. Lho memangnya dana operasional RT-RW bisa dipakai untuk kepentingan pribadi? Harusnya memang tidak boleh, tapi faktanya tak sedikit Pak RT dan Pak RW yang melakukan demikian.

Bahkan ada lho, Pak RW yang sudah selesai jabatannya, tanpa malu-malu lagi ikut pemilihan Ketua RT, karena ingin tetap dapat dana operasional itu. Dari Rp 2,5 juta turun jadi Rp 2 juta kan masih lumayan. Maklum, mantan Pak RW ini pengangguran semi terbuka. Yang punya pensiunan istrinya, dia sendiri ASN yang dipecat. Setelah bininya meninggal, tentu saja dana pensiun yang diterima dari almarhumah semakini mini, padahal dia masih punya kebutuhan maksi.

Istri Pak RW yang kini jadi Pak RT memang mantan atlet nasional. Pengaruh nama besar istrinya cari sumbangan begitu mudah, sehingga ketika Pak RW mau bangun gapura dapat sumbangan sampai Rp 80 juta. Mestinya sumbangan itu masuk kas bendahara dulu baru dibelanjakan. Pak RW korup itu tidak begitu. Sekretaris RW hanya tanda tangan kwitansi bahwa sumbangan sudah diterima, sedangkan uang itu ditransver ke rekening pribadi. Indikasinya, begitu dapat duit Rp 80 juta Pak RW langsung pulang kampung ke luar Jawa pakai pesawat. Kipas-kipas deh…….

Ketika pembangunan, tepatnya merehab gapura RW berlangsung, Pak RW mengerjakan sendiri tanpa melibatkan pengurus RW. Bahkan di mana tukang las tempat bikin kerangka gapura, juga dirahasiakan, tak boleh orang lain tahu. Maka ketika jadi itu barang, warga hanya bisa menggerutu. Paling biayanya Rp 30 juta, yang lain masuk kantong. Tapi mana mungkin soal receh begitu dilaporkan ke KPK?

 Ini benar-benar terjadi bro di wilayah DKI Jakarta. Semoga Pak RW dan Pak RT lainnya tak ada yang sampai berbuat sebegitunya. Maka ketika istrinya meninggal, banyak warga yang bergosip, “Tuh gara-gara makan uang haram, istrinya meninggal duluan, dan dia kini tak punya penghasilan tetap. Maka dari RW turun ke RT mau saja.” Lucu memang, sebab soal kematian itu sudah tertulis di luh mahfudz, tanpa suami korupsi proyek gapura pun, istrinya akan tetap mati di tanggal yang sudah ditentukan. (Cantrik Metaram).

spot_img

Related Articles

spot_img

Latest Articles