“Vaksin” Anti Korupsi Mendesak Dibuat

0
151
Praktek korupsi seolah nggak ada matinya. Baru saja Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah dicokok KPK (Kamis 26/2 malam), menambah deretan 121 kepala daerah termasuk 23 gubernur yang menjadi pesakitan komisi anti rasuah itu.

PRAKTEK korupsi di negeri ini seolah tidak ada matinya, menjadi “endemik” sepanjang masa, apalagi belum ada “vaksin” atau obat manjur atau cara “cespleng” untuk mengurangi apalagi membasminya.

Di tengah fokus pemerintah dan segenap komponen bangsa menghadapi pandemi Covid-19 sehingga pengawasan yang memang longgar semakin longgar, sehingga praktek korupsi pun menyelinap dengan leluasa.

Berita teranyar, Gubernur Sulsel Prof. Nurdin Abdullah ditetapkan sebagai tersangka setelah dicokok KPK Jumat malam (26/2) bersama Sekretaris Dinas PUPR Sulsel Edhy Rahmat dan rekanan, Dirut PT AP Bulukumba, Agung Sucipto.

Ironisnya, Nurdin yang lulus doktornya di bidang kehutanan di Universitas Kyushu, Jepang dan dua bupati Bantaeng dua periode, pernah mendapatkan penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award pada 2017 dan kepatuhan pada layanan publik dari Ombudsman.

Nurdin diduga menerima rasuah dari rekanan lain pada akhir 2020 senilai Rp200-juta, disusul Rp2,2 milyar dan Rp1 milyar masing-masing  pada awal dan pertengahan Februari 2021 terkait sejumlah proyek di wilayahnya.

Selain Nurdin, di tengah pandemi, Mensos Juliari Batubara dicokok dan ditersangkakan Desember lalu terkait kasus rasuah penyaluran bansos dan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo kasus impor benur lobster November lalu.

Institusi Pengawasan, Lengkap

Ironis dan patut dipertanyakan, mengingat lengkapnya sistem dan kelembgaan pengawasan di Indonesia, baik internal mau pun eksternal, mulai pengawasan melekat dari atasan, pembinaan personil, sistem pelaporan, mulai perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi hasil kerja.

Secara fungsional, ada BPKP, BPK, inspektorat jenderal, inspektorat provinsi, inspektorat kabupatan dan kotamadya, dan secara politis ada pula DPR dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten atau Pemerintah Kota.

Pernah juga ada Tim Sapu Bersih Pungli (Saber Pungli) di tiap-tiap instansi pemerintah yang sekrang tidak terdengar lagi kiprahnya. Kemana mereka semua? Belum cukup ada lagi lembaga superbodi, KPK yang dibentuk sejak 2003.

Wacana pengenaan hukuman mati terhadap “tikus-tikus” koruptor kelas berat yang tanpa takut dan jera-jera  dimuncul lagi  oleh Wamenkumham E. O. Sharif Hiariej baru-baru ini.

Menurut dia, hukuman mati bisa dikenakan berdasarkan pasal 2 ayat (2) UU 31Tahun 1999 Tipikor yang berbunyi: “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu.

Namun wacana terssebut selain ditolak oleh para penggiat HAM, tentu juga oleh para politisi yang berkepentingan dan kemungkinan juga ikut menikmati dan lolos dari endusan KPK.

Menyaksikan praktek korupsi yang sudah merasuk ke relung-relung  terdalam bangsa dan negara, menghambat kemajuan serta memiskinkan atau merampas kesempatan jutaan orang, rasanya hukuman mati pantas dikenakan.

Sejak KPK dibentuk pada 2003, sampai 2020 tercatat 257 anggota DPR dan DPRD yang dicokok KPK, 14 menteri dan lebih 120 kepala daerah termasuk 23 gubernur, selebihnya walikota dan bupati.

Bayangkan! tiga menteri sosial tercatat sebagai pesakitan KPK yakni Juliari Batubara, Idrus Marham dan  Bactiar Hamzah karena keterlibatan mereka dalam kasus korupsi.

Lebih parah lagi, pimpinan parpol yang mengusung agama juga tidak luput godaan korupsi, akhirnya mendekam dalam bui seperti Presiden PKS Lufty Hasan, Ketum PPP Suryadharma Ali dan penerusnya Romahurmuzy.

“Vaksin” atau cara ampuh untuk membasmi korupsi perlu segera difikirkan, tidak harus menunggu pilar-pilar negara dan bangsa rubuh digerogoti para koruptor.

 

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement div class="td-visible-desktop">