spot_img

Masyarakat Ragukan Vaksin Covid-19

KALANGAN pemerintah dan akademisi menggebu-gebu bahkan sebagian terkesan berlebihan menganggap vaksin sebagai senjata pamungkas melawan  Covid-19,  sebaliknya kepercayaan publik rendah.

Survei Laporcovid19 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang diikuti 2.109 responden di seluruh provinsi baru-baru ini mencatat, lebih sedikit jumlah masyarakat yang yakin dan menerima vaksin.

Hanya 31 persen responden yang mau menerima vaksin Covid-19 buatan PT Biofarma dan Sinovac, China yang sedang diuji klinis tahap-3 dan diharapkan sudah bisa diproduksi akhir 2020, sebaliknya 69 persen ragu-ragu, bahkan menolaknya.

Penerimaan terhadap vaksin “Merah-Putih” buatan Lembaga Biomolekuler Eijkman (dalam negeri) masih lebih baik, 44 persen responden bisa menerimanya, sebaliknya 56 persen ragu atau menolak.

Alasan penolakan, antara lain mulai dari meragukan kehalalannya, kemananan (bagi kesehatan), efikasi (khasiatnya), juga efek samping serta risiko lainnya.

Menurut catatan, RI sudah mendapat jaminan dari produsen  vaksin China (Cinovac Biotek, Sinopharm dan CanSino Biologics) untuk mendapatkan 9,1 juta dosis vaksin November atau Desember nanti.

Untuk menciptakan herd immunity atau kekebalan massal, dua pertiga penduduk Indonesia (sekitar 180 juta jiwa) harus divaksinasi, masing-masing dua kali suntikan berjarak 14 hari. Jadi diperlukan sekitar 360 juta dosis vaksin.

Sejak era Hindia Belanda Menolak

Berdasar catatan sejarah, (dari buku Medical Journal of the Dutch Indies dan Jurnal Humaniora), penolakan masyarakat terhadap vaksin terjadi dengan berbagai alasan sejak pemerintahan Hindia Belanda.

Misalnya vaksin cacar (1804) dan kolera (1910) ditolak oleh sejumlah pemerintah lokal di Jawa karena dianggap melawan takdir dan juga akibat sebaranhoaks,  vaksin polio (1980 – 1981) karena takut demam setelah disuntik dan vaksin campak (1982) karena dicemaskan efek sampingnya.

Sementara publik cukup antusias pada program vaksinasi hepatitis B yang digelar pada 1997, tetapi sebagian keberatan karena harus membayar secara mandiri, sementara terhadap program vaksinasi rubella (2017) sebagian menolak karena meragukan kehalalannya.

Berbagai pendekatan dilakukan oleh penguasa saat itu, dengan  merekrut dan melatih mantri cacar, melibatkan mahasiswa kedokteran (Stovia), sosialisasi masif melalui media, film boneka  si Unyil, vaksinasi melalui Puskesmas dan Posyandu termasuk serta kampanye oleh para kader kedua institusi di daerah.

Berbeda dengan di Indonesia, tingkat penerimaan vaksin Covid-19 di 19 negara, menurut hasil survei sejumlah lembaga pendidikan di Eropah yang diterbitkan jurnal Nature Medicine (Kompas, 22/10) jauh lebih tinggi yakni rata-rata 72 persen.

Selain mematuhi protokol kesehatan (3M) dan upaya lain, vaksinasi adalah langkah penting guna membangun kekebalan tubuh melawan virus yang sudah terbukti manjur mengendalikan berbagai wabah di dunia.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, dua sampai tiga juta nyawa terselamatkan tiap tahun berkat temuan vaksin cacar oleh Edward Jenner pada 1796 sehingga penyakit tersebut sepenuhnya punah pada 1980, menyusul temuan seperti vaksin campak, hepatitis B, polio, rabies dan lainnya.

Sosialisasi terkait manfaat vaksin secara terukur, tidak berburuk sangka namun juga tak berlebihan, perlu terus dilakukan oleh para pemangku kepentingan kesehatan, tokoh agama dan pemuka masyarakat.

 

 

 

 

 

 

 

spot_img

Related Articles

spot_img

Latest Articles