AJI PANCASONA (1)

Betara Narada menegur Subali, kenapa ajian Pancasona dioperkan kepada Prabu Dasamuka?

DI Indonesia Pancasila dijadikan ajian bersama untuk seluruh rakyat, dari Sabang sampai Merauke. Dengan ajian tersebut NKRI bisa terjaga, karena segenap rakyatnya menghormati perbedaan agama, budaya dan tradisi setiap suku bangsa. Sayangnya, kemudian ada sekelompok anak bangsa yang tak tahu sejarah, berusaha untuk menafikan Pancasila, karena ingin menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Tentu saja dapat perlawanan.

Pada dunia perwayangan, aji Pancasona juga menjadi idola. Ajian tersebut menjadi perburuan sejumlah tokoh. Bedanya adalah, bila Pancasila menjadi milik bersama, Pancasona pemilikannya secara personal. Pancasila memang mirip dengan Pancasona, punya kesaktian yang sama, yakni kelestarian. Di Indonesia Pancasila mampu melestarikan NKRI dan di jagad perwayangan, siapa memiliki ajian tersebut akan lestari tak bisa mati! Terkena bencana apapun, sepanjang ketemu tanah, akan hidup kembali.

Alkisah, kahyangan Jonggring Salaka mendadak dilanda musim panas. Suhu udara mencapai 40 drajat Celsius. Istana Bale Marcakunda meski sudah dipasangi AC Wasikin di setiap sudut ruangan, tetap saja gerah. Betara Guru, Betara Narada dalam pertemuan terpaksa ngliga (tanpa baju), saking gerahnya.

“Kakang Narada, kenapa gerangan kahyangan kok menjadi panas sedemikian rupa. Apakah api kawah Candradimuka bocor, sehingga mempengaruhi udara di sini?”

“Bukan begitu adi Guru. Berdasarkan penyelidikan kami, panasnya udara di Jonggring Salaka akibat dampak ulah Subali di pertapan Sunyapringga. Dia bertapa dengan keinginan untuk memiliki ajian Pancasona.”

Betara Guru pun terkaget-kaget. Masak umat perwayangan mendambakan ajian Pancasona, itu kan bukan kapasitasnya. Sebab bila dia sampai memiliki ajian itu, takkan pernah mati. Itu kan sama saja menyaingi para dewa. Seperti sekarang ini, tak ada korban Covid-19 di Jonggring Salaka, karena para dewa memang terbebas dari kematian. Kena sih kena, tapi hanya batuk pilek melulu, disertai sesek napas kadang-kadang.

“Ya sudah kakang Narada, ketimbang kita-kita kegerahan terus, kabulkan saja tuntutan itu.” Kata Betara Guru pada akhirnya.

“Tapi jangan diberi cek kosong dia. Harus ada persyaratan tertentu.” Betara Narada memberi masukan.

“Terserah elo deh….” Jawab Betara Guru kehilangan etika, saking panasnya.

Betara Narada segera turun ke bumi, menemui Subali di pertapan Sunyapringga. Cara bertapa Subali sungguh unik, dia menggantung di cabang sebuah pohon besar, dengan kepala di bawah sementara kaki dikaitkan ke cabang pohon tersebut. Orang sekarang menyebutnya kampret, lawan kecebong. Ataukah Subali memang pendukung Prabowo?

“Hai Subali, kamu bertapa model begitu apa nggak capek? Orang bertapa kan biasanya duduk sambil bersidakep kedua tangan di dada. Ini kok malah menggantung, nggak takut jantung terbalik?” Betara Narada menghujani Subali dengan sejumlah pertanyaan.

“Untuk menggapai sesuatu harus pantang menyerah, harus siap menerima berbagai tantangan, karena itu merupakan penggemblengan jiwa dan mental. Itu…..,” jawab Subali nggak mau kalah dengan Mario Teguh di masa jaya-jayanya sebagai motivator.

Betara Narada tersenyum sambil manggut-manggut, persis Pak Harto. Dia lalu klarifikasi kebenaran informasi bahwa Subali bertapa karena menuntut ajian Pancasona pembebas dari kematian. Padahal memiliki ajian Pancasona sama saja menyaingi eksitensi para dewa di Jonggring Salaka.

“Apa kamu nggak kesepian nantinya? Semua wayang sudah mati, kamu hidup sendiri?” ujar Betara Narada.

“Ya enggaklah, pukulun. Kan wayang selalu berganti-ganti generasi. Nantinya saya akan menjadi sesepuh mereka. Tempat bertanya dan tempat mencari kesembuhan dari berbagai penyakit.” Jawab Betara Narada lagi.

Betara Narada tertawa, ternyata Subali ingin memiliki aji Pancasona hanya agar bisa menjadi paranormal sepanjang masa. Mungkin dia terilhami oleh nasib Ki Gendeng Pamungkas, pinter nyantet dan bikin mati orang, tapi dia sendiri malah mati muda. Konyolnya, dia pernah meramal Jokowi meninggal di masa jadi presiden, tapi malah dia yang mati duluan.

“Subali. Jika kamu memiliki ajian Pancasona, apakah siap berumah tanpa keramik dan pergi ke mana-mana harus nyokor tanpa sepatu?” Betara Nara lagi-lagi mengetes kemampuan Subali mirip fit and proper tes di DPR.

“Lho, apa hubungannya aji Pancasona dengan lantai keramik dan sepatu pukulun?” Subali bertanya terheran-heran.

Betara Narada pun menjelaskan segala kelebihan dan kelemahan aji Pancasona. Pemiliknya baru terbebas kematian, asalkan selalu bersentuhan dengan tanah. Padahal di abad milenial sekarang, rumah semuanya pakai keramik dan orang selalu pakai sepatu dan sandal jepit Swalow. Itu ancaman bagi pemilik ajian Pancasona.

Di samping itu, ajian Pancasona tak boleh disalah-gunakan. Ajian itu hanyalah untuk kemaslahatan dunia, tapi tak boleh untuk mencari duniawi. Karenanya jika sudah memiliki ajian Pancasona, tak elok menjadi anggota DPR dan Kepala Daerah. Soalnya di era gombalisasi ini godaan anggota dewan kepala daerah begitu banyak.

“Ya sudah pukulun, saya siap berumah lantai tanah dan ke mana-mana nyokor asalkan memiliki aji Pancasona.” Jawab Subali serius.

“Nah, gitu dong! Intinya, pemilik ajian Pancasona harus mampu memayu hayuning bawana.” Kata Begawan Narada lagi.

Dengan mengheningkan cipta, sementara tangan Narada-Subali berjabatan, ajian Pancasona ditransver secara batin. Saat pulang Betara Narada diberi amplop segepok, katanya sekedar uang transport. Patih kahyangan itu menerimaya dengan malu-malu, menoleh ke kanan ke kiri takut ada yang melihatnya. Malu dong, Betara Narada kok menerima gratifikasi. (Ki Guna Watoncarita).

 

 

Advertisement div class="td-visible-desktop">