Gelombang Globalisasi yang berlangsung semenjak akhir abad ke 20, sebagai dampak berpadunya kekuatan modal dengan kemajuan ilmu-teknologi yang super canggih termasuk revolusi digital, smart technology dan artificial intelligence-nya dewasa ini, adalah sebuah keniscayaan yang bisa berdampak positif maupun negatif. Namun demikian kecenderungan besar yang terjadi adalah, Gelombang Globalisasi tersebut telah mengumandangkan musik jiwa yang menggalang alam pikiran manusia, untuk terpadu secara total pada dimensi rasionalitas yang memuja pesona dunia melalui kebutuhan-kebutuhan palsu yang menyihir.
Musik jiwa dari dimensi rasionalitas dengan belasan Divisi Perangnya, secara terpadu mengemban misi meruntuhkan 3 (tiga) sendi utama negara bangsa, yang oleh Proklamator Bung Karno disebut sebagai Trisakti, yaitu berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Dimensi rasionalitas itu ditata dalam tiga sistem utama yang mengempur sekaligus menggantikan Trisakti Bung Karno yakni :
Pertama, sistem sosial politik demokratis yang individualis agar mudah diipecah dan dikendalikan oleh kapitalis global.
Kedua, sistem pasar bebas, yang menghancurkan sistem ekonomi koperasi dan kerakyatan yang mengutamakan kebersamaan serta persaudaraan yang selama ini kita kenal dengan kearifin lokal yang di Jawa disebut “tuna satak bathi sanak” Kearifan ini menjadi pegangan para pengusaha, rugi sedikit tidaklah mengapa asalkan bertambah saudara. Sebuah nilai luhur yang menjunjung tinggi kerjasama, kebersamaan dan persaudaraan serta gotongroyong dalam masyarakat.
Ketiga, sistem sosial budaya yang lepas bebas, yang individualis, yang bertentangan dengan sistem sosial budaya Nusantara. Sistem sosial budaya yang lepas bebas ini, sekarang sudah mulai kita rasakan dampaknya dengan berkembangnya sikap dan gaya hidup masyarakat yang hedonis, individualis, pragmatis, materialis dan narsis, yang secara terang-benderang, secara kasat mata bisa kita lihat dari media sosial dan perilaku pengendara di jalanan.
Serbuan Gelombang Globalisasi, mengerahkan sejumlah Divisi Perangnya (saya mencermati ada 17 Divisi Perang, insya Allah dibahas pada kesempatan lain), karena itu juga sering disebut sebagai Perang Asimetris. Divisi-Divisi Perang tadi diantaranya menggempur secara langsung peradaban sesuatu bangsa termasuk Indonesia, terutama pada aspek nasionalisme, sosial budaya, kearifan lokal, adat dan tradisi, agama serta spiritualisme.
Dalam hal nasionalisme, Gelombang Globalisasi berusaha melunturkan serta mendangkalkan nilai dan semangat nasionalisme sesuatu bangsa atau negara, mengobarkan separatisme dan disintegrasi, memecah-belah, menghancurkan militansi rakyat, menciptakan kesenjangan sosial ekonomi serta menyuburkan konflik horizontal dan vertikal.
Dalam aspek sosial budaya, Gelombang Globalisasi menggelorakan sex bebas dan sex sejenis, mengobarkan budaya hidup yang hedonistis-individualistis, pragmatis-materalitis dan narsistis, merusak dan menghancurkan bangunan tata nilai keluarga – kebersamaan – gotongroyong, merusak serta menghancurkan moral masyarakat, kebudayaan, adat, tradisi dan kearifan lokal,
Dalam aspek agama dan spiritualisme, Gelombang Globalisasi mendangkalkan dan menghancurkan nilai-nilai moral spiritual dan kesalehan yang hakiki, melibas tradisi dan kearifan lokal yang memperkuat spiritualisme dan agama, menciptakan dan mengembangkan aliran-aliran sesat, mengembangkan sekularisme dan secara khusus memecahbelah pemeluk agama terbesar dan militan negeri ini.
Gempuran dahsyat tersebut kini sudah bisa kita lihat pada pola pikir, perilaku, gaya hidup dan bahkan peradaban masyarakat. Nampak jelas, masyarakat Indonesia kini sedang mabok dalam alunan musik jiwa yang pragmatis, hedonis, individualis, materialis dan narsis. Kita mulai berubah menjadi masyarakat yang sangat egois, yang memuja diri sendiri, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, khususnya agar bisa “berkuasa dan kaya raya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan segala cara.” Hidup kita menjadi boros, keras lagi mementingkan diri sendiri. Menjadikan kesalehan hanya sekedar sebagai formalitas.
Pola hidup masyarakat sedang berkembang pesat ke pola hidup yang sangat konsumtif berlebihan, serba mewah dan gemerlap, sehingga menjadikan negeri kita cenderung mudah mengalami defisit dalam neraca pembiayan dan perdagangan luar negerinya. Kita telah menjadi bangsa yang tekor lantaran pola hidup kita. Cobalah perhatikan barang-barang kebutuhan kita sehari-hari, mulai dari bahan pangan yang sangat sederhana seperti garam sampai dengan peralatan elektronik yang canggih, sebagian besar berasal dari impor. Demikian pula penguasaan sumber daya alam, seperti minyak dan gas bumi, mineral dan emas, hutan dan kebun kelapa sawit bahkan air minum dalam kemasan, pabrik semen, rokok dan toko-toko kelontong dan bahan pokok, juga dikuasai oleh modal asing atau pengusaha besar yang bekerjasama dengan asing. Sementara rakyat di sekitarnya tetap miskin.
Tata nilai kehidupan yang dibentuk oleh Kapitalisme Global tersebut, apabila tidak segera ditangani secara tepat, sudah pasti akan segera menghancurkan diri kita sendiri, bahkan meluluhlantakkan Indonesia sebagai negara bangsa. Hal itu sangat dimungkinkan sejalan dengan kekuatiran Prof.Dr.M.Sahari Besari, yang menyatakan sistem nilai serta struktur sosial masyarakat Indonesia ternyata tidak terkonstruksi untuk mengakomodasi, apalagi melawan, gelombang dahsyat globalisasi yang datang tanpa henti. (Teknologi di Nusantara, 40 Abad Hambatan Inovasi, M.Sahari Besari, Penerbit Salemba Teknika 2008, halaman 1).
Perubahan total atas tata nilai hedonis dan lain-lainnya tadi, bukanlah sekedar merupakan Revolusi Mental melainkan Revolusi Budaya, Revolusi Peradaban, yang sudah merupakan keharusan yang mendesak. Karena tata nilai hedonis dan sekutunya tersebut, pada hakikatnya adalah krisis moral bahkan krisis peradaban yang akan membawa bangsa Indonesia masuk ke dalam pusaran krisis multidimensi yang besar, berat dan kompleks.
Karena kita tidak mungkin menghindar dari percaturan global, maka kita harus bergerak cepat, tepat dan memadai. Jika tidak, maka eksistensi kita sebagai negara bangsa di kawasan negeri maritim Nusantara Raya ini, yang terdiri lebih dari 300 etnis dengan ragam adat budaya masing-masing, yang tersebar di lebih 17.500 pulau akan sangat terancam.
Salah satu potensi besar masyarakat yang bisa digalang untuk secepatnya melakukan pertahanan semesta menghadapi serbuan Divisi-Divisi Perang Globalisasi adalah masyarakat-masyarakat adat dan budaya dari lebih 300 etnis itu, termasuk Keraton-Keraton Nusantara.
Seluruh masyarakat adat dan budaya selaku pengemban amanah kearifan-kearifan lokal, harus segera bangun dari tidur lelapnya selama ini, bangkit kembali menggalang kekuatan bersama, merajut kembali serta mengembangkan peradaban Nusantara Raya dalam arti seluas-luasnya, untuk selanjutnya mewujudkan Nusantara Raya sebagai negeri maritim yang aman tenteram, adil makmur, sejahtera dan jaya sentosa. Para tokoh masyarakat harus bangkit menghidupkan kembali budaya, budi dan daya serta kearifan-kearifan lokal suku-suku bangsa di Nusantara yang hidup rukun, damai, penuh toleransi, gotongroyong dan unggul dalam tata nilai kehidupan, seni dan ketrampilan. Para ulama harus bisa membumikan ajaran dan kesalehan umatnya dalam berbagai kegiatan dan perilaku amal saleh, dan bukan hanya sekedar kesalehan formal.
Langkah pertama yang seyogyanya bisa segara dilakukan adalah menghimpun dan melakukan konsolidasi gerakan atas segenap potensi adat, tradisi, keraifan lokal dan budaya Nusantara Raya.
Himpunan sekaligus gerakan ini harus bisa mewujudkan Nusantara Raya yang berlandaskan peradaban negeri maritim yang aman tenteram, adil makmur, sejahtera jaya sentosa, dan bukan hanya sekedar forum silaturahmi serta festival seni budaya.
Langkah kedua adalah mengembangkan pembinaan kebudayaan dan sistem pendidikan nasional yang:
(a).berjatidiri kokoh serta bisa mengambil hikmah dari sejarah bangsa-bangsa khususnya sejarah nasional kita sendiri;
(b).mencermati serta mengantisipasi revolusi budaya dan perkembangan gaya hidup generasi muda masa depan, yang sudah mulai menunjukkan tanda-tanda terbentuknya suatu peradaban baru. Sebagai bangsa, kita harus bisa menggalang dan mewarnai peradaban baru tersebut dengan nilai-nilai adab yang luhur.
(c).mampu mengejar, mengikuti dan menguasai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya smart technology dan artificial inteligent yang kini sedang melesat pesat, eksponensial.
Semoga dengan rida, rahmat dan berkah-Nya, kita semua bisa menggalang tekad dan semangat mengantisipasi semua itu. Amin.