spot_img

Antara Bibit, Bobot Dan Bebed

ANAK-ANAK mantan presiden seperti Tommy Soeharto dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), banyak yang mengelu-elukan untuk menjadi Capres 2019. Mereka memilih mereka bukan karena prestasi, tapi semata-mata karena putra mantan presiden yang dinilai sukses. Orang Indonesia umumnya dan orang Jawa khususnya, memang suka menilai seseorang berdasarkan keturunan, yang istilah populernya disebut: bibit, bobot dan bebed.

Ada peribahasa lama mengatakan: buah jatuh takkan jauh dari pohonnya. Maknanya adalah, kelakuan atau kegemaran orangtua biasanya akan menurun pada anak. Itu artinya bahwa orangtua lewat gaya mendidik putra-putrinya, berhasil menurunkan kearifan dirinya buat anak  keturunannya.

Untuk hal-hal yang positif itu memang sangat bagus, karena bisa memberikan sumbangsih dan kontribusi bagi masarakat dunia. Tapi andaikan bapaknya tukang kawin, lalu anak-anaknya jadi tukang kawin pula, pasti dicemooh publik sekitarnya. Itu sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Maka bagi orang bijak hanya bisa berdoa, “Anak turunku aja ana sing tiru (anak keturunan saya jangan meniru).”

Bapaknya koruptor, anaknya koruptor juga, baru-baru ini juga terjadi, berkat politik dinasti yang kental. Adalah Walikota Kendari, Wali Kota Kendari, Adriatma Dwi Putra, dan ayahnya, Asrun mantan Walikota Kendari yang kini sedang berjuang untuk menjadi Gubernur Sulawesi Tenggara. Mereka ditangkap gara-gara menerima suap dalam proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkab Kendari tahun 2017-2018.

Tentulah, ayah cap apapun takkan mengajari anak-anaknya korupsi atau terima suap. Tapi gara-gara ingin memperoleh jabatan lebih tinggi, anak dan ayah bau membahu  memperjuangkan jabatan itu dengan cara yang salah. Walhasil, bapak gagal maju ikut Pilgub, anak juga tak bisa jadi walikota lagi, justru kini bapak dan anak bakal meringkuk bersama-sama sebagai napi.

Padahal jika bapak berhasil jadi gubernur, pada saatnya nanti sang ayah pasti mengatur-ngatur bagaimana si anak yang walikota itu juga bisa naik kelas jadi orang nomer satu di Sulawesi Tenggara. Dan di sinilah salahnya, jabatan dan nasib dianggap linear saja. Bapaknya walikota anak jadi walikota, berhasil. Tapi bapak gubernur dan anaknya kelak gubernur; justru berantakan semuanya.

Dalam hal jabatan, bibit bisa menurun tergantung pada bobot atau kwalitas yang jadi keturunannya. Ada banyak memang, bapak jadi menteri, anak jadi menteri pula sebagaimana halnya almarhum Mentri Perindustrian Ir. Hartarto, punya anak Erlangga Hartarto yang bisa jadi Menteri Perindustrian pula. Ada juga Susilo Sudarman Menparpostel era Orde Baru, adalah ayah Endroyono Susilo yang pernah jadi Menko Maritim Kabinet Jokowi. Begitu juga Menag Lukman Hakim sekarang, adalah putra Menag Syaifudin Zuhri di era Bung Karno.

Maka orang Indonesia khususnya, sangat percaya akan bibit, bobot, dan bebed. Tak usahlah untuk menjadi petinggi negara, dalam urusan cari menantu saja banyak yang memberlakukan hal itu. Calon mantu harus dilihat keturunan siapa (bibit), dilihat pula kwalitasnya (bobot) termasuk juga kekayaannya (bebed).

Kwalitas dan uang kertas calon mantu memang perlu, tapi tak seluruhnya menjadi prioritas. Dalam perspektif Islam, hadits nabi menggariskan: Ada 4 syarat untuk memilih jodoh: pertama hartanya, kedua kedudukan statusnya, ketiga karena kecantikannya dan keempat karena agamanya. Maka carilah wanita yang beragama (Islam) engkau akan beruntung. (Cantrik Metaram)

spot_img

Related Articles

spot_img

Latest Articles