Antara Makan Gratis dan Sekolah Gratis

Wartawan Senior, Arif Supriyono (Foto: Dok Pribadi)

Program pemerintah berupa makan bergizi gratis (MBG) mulai bergulir pada 6 Januari 2025. Hingga saat ini pemerintah mengklaim telah mampu menjalankan program MBG di 38 provinsi, meski belum menjangkau secara keseluruhan 514 kabupaten/kota yang ada.

Jumlah murid yang menikmati MBG, berdasarkan laporan pemerintah, telah mencapai angka 30 juta siswa. Angka ini berarti separuh lebih dari total siswa hingga tingkat SMA (sederajat) yang mencapai 52,9 juta jiwa. Penerima manfaat dari MBG ini kebanyakan dari sekolah negeri. Murid-murid yang menempuh pendidikan di sekolah swasta lebih banyak yang belum menikmati program andalan Presiden Prabowo Subianto tersebut.

MBG juga menciptakan aktivitas ekonomi berupa Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang karib disebut dapur MBG. Ada sekitar 7.500 SPPG yang telah menjadi mitra dan melayani program MBG bagi para siswa. Mayoritas dapur MBG itu memang masih baru, namun banyak juga yang merupakan pelaku usaha lama dari swsta maupun instansi tertentu, termasuk TNI dan Polri.

Di balik pelaksanaan MBG, di luar dugaan muncul kasus lain yang sempat menghantui program tersebut. Kasus siswa yang keracunan setelah mengonsumsi MBG menyebar di beberapa daerah. Dalam catatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), secara keseluruhan ada 10.482 siswa yang mengalami keracunan setelah menyantap MBG.

Kasus keracunan MBG itu tersebar di beberapa provinsi. Ada satu siswa di SMKN Cihampelas, Bandung Barat, yang meninggal karena keracunan. Akan tetapi belum ada kesimpulan yang memastikan, bahwa siswa itu meninggal karena keracunan MBG.

Salah satu yang menjadi sorotan utama MBG adalah dana jumbo yang dibutuhkan untuk menjalankan program tersebut. Pada tahun ini, pemerintah menyediakan dana Rp171 triliun untuk kebutuhan MBG. Anggaran MBG untuk tahun depan justru lebih membengkak lagi, tak kurang dari Rp335 triliun.

Kebutuhan dana untuk MBG ternyata diambilkan dari anggaran lain. Sebanyak Rp233 triliun dana MBG 2026 disisihkan dari anggaran pendidikan 2026 yang mencapai Rp747 triliun. Selain itu, kekurangan dana MBG lain diambilkan dari anggaran kesehatan Rp24,7 triliun dan anggaran ekonomi Rp19,7 triliun.

Gembar-gembor kenaikan anggaran pendidikan pada tahun 2026 nanti sesungguhnya hanyalah bersifat semu. Jika angka Rp747 triliun dikurangi Rp233 triliun untuk MBG, maka sejatinya dana pendidikan 2026 hanyalah sebesar Rp514 triliun. Angka Rp524 triliun ini masih kalah dengan anggaran pendidikan 2021 yang mencapai Rp550 triliun. Ini artinya, besaran anggaran pendidikan nasional mundur lima tahun.

Dampaknya nanti sudah pasti akan dirasakan oleh para siswa, guru, dan para pemangku kepentingan di dunia pendidikan nasional. Pengadaan fasilitas atau alat-alat penunjang pendidikan sudah barang tentu akan lebih terbatas. Barangkali urusan kesejahteraan guru dan staf lain di lingkungan pendidikan yang sangat tidak diharapkan mengalami penyesuaian atau pengurangan.

Pengurangan fasilitas penunjang pendidikan jelas sangat merugikan, terutama bagi siswa. Komputer/laptop, buku-buku, alat-alat praktikum, serta sarana dan prasarana olahraga/ekstra kurikuler sangat diperlukan oleh para siswa. Sangat disayangkan jika semua fasilitas itu mengalami pemangkasan.

Di lain pihak, menghentikan MBG sangat tidak mungkin lantaran ini merupakan program kebanggaan presiden. Namun, evaluasi terhadap segala hal yang bersangkuat-paut dengan pelaksanaan MBG sangat diperlukan. Selain faktor kebersihan (higienis) kualitas menu MBG juga harus mendapat pengawasan lebih intens.

Di beberapa tempat, menu MBG kurang memenuhi standar kualitas gizi. Bahkan ada yang menyatakan, nilai ekonomi satu porsi MBG tak lebih dari Rp5 ribu. Padahal, anggaran yang disediakan oleh pemerintah mencapai Rp15 ribu per porsi. Jika seperti, maka bukan makan bergizi gratis yang terjadi akan tetapi makan seadanya gratis.

Banyak kalangan yang menilai, sebenarnya jauh lebih bermanfaat menyelenggarakan pendidikan gratis ketimbang MBG. Pendidikan gratis jelas tertera dalam pasal 31 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, setiap warga negara berhak dan wajib mengikuti pendidikan dasar. Makna wajib di sini menandakan, bahwa pemerintah menanggung biaya pendidikan dasar bagi setiap warga negara alias gratis.

Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan dasar menghabiskan waktu selama sembilan tahun. Dengan demikian, pemerintah berkewajiban menanggung biaya atau menggratiskan pendidikan bagi warganya hingga lulus SMP atau sederajat.

Jika pendidikan dasar gratis merupakan kewajiban pemerinah dan diamanatkan oleh UUD 1945, sebaliknya dengan MBG. Sama sekali tidak ada pasal dalam UUD maupun UU Sisdiknas yang mewajibkan pemerintah untuk menjalankan MBG pada para siswa. Program MBG ini merupakan salah satu janji kampanye Prabowo-Gibran 2024.

Dengan pendidikan gratis, jelas tidak akan memangkas anggarapan pendidikan. Sebaliknya, anggaran pendidikan akan kian besar sebagai bentuk investasi jangka panjang bagi masa depan bangsa. Dari sisi kemanfaatan, pendidikan gratis tentu akan lebih memiliki guna dan faedah daripada makan gratis.

Advertisement

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here