HINGAR-bingar dan spekulasi yang bermunculan menjelang pengajuan cagub dan cawagub Daerah Khusus Jakarta, akhirnya “tutup buku” setelah PDI-P mendaftarkan kadernya, duet Pramono Anung dan Ran Karno ke KPU, Rabu (28/8).
Selama ini, boleh dibilang pilkada Jakarta ‘serasa pilpres’ sehingga menutup pemberitaan pilkada serentak 2024 yang diikuti seluruhnya oleh 37 provinsi, 454 gubernur dan 93 pemerintah kota.
Mantan Gubernur DKI Jakarta 2019 – 2024 Jakarta yang juga capres 2024 lalu, Anies Baswedan selalu unggul elektabilitasnya di hasil polling (39 persen), disusul mantan gubernur DKI Jakarta sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (34.5 persen), lalu mantan gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di posisi ke-3 (24 persen).
Ridwan Kamil sudah lebih dulu diusung oleh Koalisi Indonesia Maju Plus (15 parpol), sementara Anies diajukan oleh PKS bahkan sudah disandingkan dengan cawagub partai tersebut (Sohibul Iman) dengan catatan harus mencari tambahan empat kursi lagi di DPRD karena kursi PKS hanya 18 untuk melengkapi minimal 22 kursi ambang batas parlemen.
Partai Nasdem dan PKB juga menyatakan dukungannya atas pencalonan Anies, namun tak kunjung mendeklarasikannya, sehingga walau elektabilitasnya tertinggi, belum ada parpol yang resmi meminangnya.
Bak durian runtuh, tidak hanya bagi Anies, nama-nama calon kepala daerah bermunculan saat Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan judicial review Partai Buruh dan Partai Gelora untuk menurunkan ambang batas perolehan suara parpol di DPR dan DPRD.
Berdasarkan putusan MK No. 60/PUU/XXII/2024 itu, ambangbatas parlemen (parliamentary threshold) ditetapkan 6,5, 7,5, 8,5 dan 10 persen) dari empat klasifikasi jumlah penduduk dalam Daftar Pemilihan Tetap (DPT).
Jadi, dengan terbitnya putusan MK tersebut, UU Pilkada sebelumnya yang mempersyaratkan 20 persen jumlah kursi di DPRD atau 25 persen suara sah dalam pileg sebelumnya tidak berlaku lagi.
Nama Anies kembali beredar, dan lobi-lobi pun kian intensif, termasuk dengan PDI-P sebagai partai dengan kursi nmor dua terbanyak kedua di DPRD DKI Jakarta.
Bagi PDI-P sendiri, dengan terbitnya putusan MK No. 60 tersebut, ia juga bisa mengajukan calonnya sendiri, dan yang paling menungkinkan adalah Ahok Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang juga menjadi anggota DPP PDI-P.
Spekulasi bermunculan, Anies akan diusung PDI-P berpasangan dengan Ahok yang merupakan lawannya di pilkada sebelumnya atau denga nama-nama lainnya pun Anies berpeluang memenangi kontestasi melawan pasangan RK-Suswono.
Bahkan Anies bersama bakal duet pasangannya, mantan Gubernur Banten Rano Karno, dengan mengenakan baju mitf berwarna merah menyambangi kantor DPD {I-P jakarta Sabtu ( 24/8) walau PDI-P tidak menjanjikan apa-apa terkait pencalonan Anies.
Namun dari sinyal-sinyal dan sindiran yang dilontarkan oleh Ketua PDI-P Megawati, sosok Anies agaknya memang bukan menjadi pilihannya untuk diajukan sebagai cagub Jakarta.
“Enak aja! Harus mau mengenakan baju seragam merah hitam “ kata Mega.
Akhirnya memang terjadi antiklimaks saat PDI-P akhirnya mencalonkan pasangan kedernya, duet Pramono Anung yang juga menjabat menteri setneg dalam kabinet Presiden Jokowi dan Rano Karno sebagai pendampingnya.
Pramono dan begitu pula Rano yang kesohor sebagai aktor film serial “Si Doel anak Betawi” bukan lah dua sosok yang dibicarakan oleh publik akar rumput di Jakarta.
Namun, parpol, khsususnya PDI-P dalam kasus pilkada Jakarta, “memberikan tiket” pada Pramono dan Rano, agaknya untuk menjaga kelanggengan hubungan dengan pemerintah ke depan di bawah duet Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Apa boleh buat, bagi parpol, urusan ideologi dan lainnya soal kedua, yang penting bagaimana melanggengkan kekuasaan, apalagi mereka juga tau, kemampuan rakyat mengingat rekam jejak pemimpin atau menjatuhkan pilihan pada calon pemimpin yang amanah juga masih tumpul.
Baru segitu mungkin level demokrasi kita!