Bahagia di DKI Jakarta

0
194
Tinggal di rumah mewah sebagaimana di Pondok Indah, bukan jaminan bahwa pemiliknya hidup bahagia.

SESUNGGUHNYA kebahagiaan itu relatif, tergantung setiap individu menyikapi kenyataan yang ada. Kita melihat orang lain berbahagia, padahal orang yang bersangkutan belum tentu merasakannya. Tapi secara umum, kebahagian kebanyakan diukur dari sisi ekonomi, sehingga BPS (Badan Pusat Statistik) pun mencatat bahwa indeks kebagiaan warga DKI Jakarta menurun di masa pemerintahan  Gubernur Anies Baswedan, terutama setelah masa pandemi Corona.

Dalam surveinya di penghujung tahun 2021 lalu, BPS mencatat bahwa secara nasional, terdapat 10 provinsi yang menurut BPS paling bahagia se-Indonesia. Mereka adalah:1. Maluku Utara (76,34),  2. Kalimantan Utara (76,33),  3. Maluku (76,28),  4. Jambi (75,17),  5. Sulawesi Utara (74,96),  6. Kepulauan Riau (74,78), 7. Gorontalo (74,77), 8. Papua Barat (74,52),  9. Sulawesi Tengah (74,46), 10. Sulawesi Tenggara (73,98).

Di sisi lain, terdapat 10 provinsi yang mengalami penurunan Indeks Kebahagiaan. Provinsi-provinsi itu adalah Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, DKI Jakarta, Banten, Yogyakarta, Bali, NTB, dan Kalimantan Timur. DKI Jakarta menempati peringkat delapan terbawah dengan memperoleh 70,58 poin. Sementara Banten menempati posisi terbawah, sebagai provinsi paling tidak bahagia di Indonesia.

Khusus DKI Jakarta, BPS menyoroti sejak 2017 yang angkanya berada pada 71,33 sementara pada 2021 indeks kebahagiaan DKI menjadi 70,68. DKI Jakarta kini berada pada urutan ke-27 dari 34 provinsi di Indeks Kebahagiaan menurut provinsi. Adapun Banten, tercatat menjadi provinsi paling tidak berbahagia. Tapi bagaimana mau bahagia, lha wong staf gubernur saja bisa dicekik buruh pendemo.

Indeks kebahagian turun hanya satu digit, sebetulnya DKI Jakarta tidak parah-parah amat. Apa lagi dikaitkan dengan pandemi Corona, yang menjadi penyakit nasional. Artinya, semua provinsi mengalami. Yang menyakitkan, adalah komentar netizen Khusnul Khotimah yang sungguh-sungguh bikin makjleb. Menjawab pertanyaan kenapa provinsi lain indeks kebahagiaannya naik? Dia bilang, “Karena gubernurnya bukan Anies Baswedan.”

Kesannya, indeks kebahagiaan warga DKI menurun gara-gara Anies. Maklum, selama pemerintahannya dia punya motto: maju kotanya, bahagia warganya. Sebetulnya Gubernur Anies tak pernah lelah berusaha membahagiakan warganya. Misalnya, untuk mengatasi banjir dibangun ribuan sumur resapan. Untuk memanjakan pejalan kaki, di mana-mana trotoar diperlebar, sementara jalannya justru dipersempit. UMP buruh yang mestinya tahun 2022 ini hanya naik Rp 37.000,- tiba-tiba dinaikkan menjadi Rp 225.000,- Kurang bahagia mana warga DKI Jakarta?

Ukuran kebahagiaan versi BPS sebetulnya masih samar. Paling membumi adalah hasil peninjauan MNC Portal Indonesia kepada masyarakat, untuk melihat persepsi mereka tentang apa yang dirasakan dalam menjalani kehidupan. Hasilnya, masyarakat merasa terbebani dengan sulitnya perekonomian sejak pandemi Corona. Mayoritas masyarakat mengatakan bahwa faktor ekonomi merupakan faktor utama penyebab rendahnya rasa kebahagiaan seseorang.

Memang, kebahagiaan seseorang selama ini  kebanyakan selalu diukur dengan kemampuan ekonominya. Orang yang rumahnya bagus, mobilnya luks, pastilah bahagia hidupnya.  Padahal belum tentu. Taruhlah pedangdut Iis Dahlia, dia ambil rumah mewah yang angsurannya sebulan Rp 250 juta. Tapi begitu pandemi Corona, job-job di TV dan pentas di luaran macet semua, sementara Garuda Indonesia tempat suaminya jadi pilot, juga dalam kondisi  nyenen kemis. Kini Iis Dahlia mana bisa bahagia, karena pusing tiap bulan harus mencicil rumahnya.

Demikian juga Azis Syamsuddin eks Wakil Ketua DPR. Sebagai pejabat negara yang punya aset Rp 100 miliar sesuai LHKPN, tentunya sangat bahagia luar biasa. Pengin mobil bagus, nambah istri yang cantik, dengan kekuatan uangnya semua bisa tercapai. Faktanya dia kini tak bisa tidur nyenyak, karena tak lama lagi bakal pindah rumah ke LP Sukamiskin Bandung, gara-gara kasus korupsi yang membelitnya.

Maka kebahagiaan itu sangat relatif, sawang sinawang kata orang Jawa. Kita melihat seseorang sangat bahagia, padahal bisa saja sebaliknya. Maka orang hidup bahagia bukanlah karena kemapanan ekonomi, tapi bagaimana kita bisa menyikapi kondisi kita dewasa ini. Orang yang pandai bersyukur di muka bumi, adalah orang yang sangat bahagia hidupnya. Dia selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah Swt, tak pernah mengirikan rejeki pihak lain.

Percuma harta triliunan jika selalu penyakitan, percuma punya bini cantik nan seksi bila “burung”-nya tak bisa ereksi. Maka ciri-ciri orang berbahagia adalah, makan bisa enak, tidur bisa nyenyak dan ke belakang juga enak. (Cantrik Metaram)

Advertisement div class="td-visible-desktop">