Kebakaran hutan di Indonesia tahun ini luar biasa besarnya, baik dalam luasnya wilayah yang terbakar maupun biaya yang dikeluarkan. Tidak kurang wilayah Sumatera, Kalimantan serta Papua diselimuti kabut asap hampir merata, bahkan asap tipis sempat juga masuk kewilayah Jakarta. Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, menyatakan tidak kurang 593 jumlah titik api tersebar diwilayah Indonesia, terutama Sumatera, Kalimantan, hingga Papua. Bahkan, di Kalimantan Tengah, 169 titik api yang ada telah membuat kabut asap di ibu Palangkaraya memasuki fase terburuk sepanjang terjadinya bencana kabut asap. (ROL, 29/10/15).
Kebakaran hutan kali ini juga menelan biaya yang luar biasa besar untuk penanganannya. Sepanjang Januari-September 2015, BNPB sudah menggunakan dana Rp550 miliar untuk mengatasi kebakaran hutan dan dampak asap di berbagai daerah. Dana yang cukup besar dihabiskan untuk biaya sewa pesawat dan helikopter dalam operasi water bombing di pusat-pusat kebakaran.
Greenpeace Indonesia menganggap pemerintah tak mau belajar terkait penanganan kebakaran hutan dan lahan yang sudah berlangsung selama 18 tahun. Penangangan kebakaran hutan tahun 2015 ini pun terkesan terlambat diatasi. Tahun ini disebut-sebut sebagai kebakaran hutan terhebat dan terluas, sehingga pemerintah harus meminta pertolongan dari negara sahabat.
Pertanyaannya, apakah yang sebenarnya menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan ? Apakah karena alam ataukah faktor manusia ?
Jawaban mengejutkan datang dari Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia mengatakan, kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia sebagian besar karena ulah manusia. Mereka sengaja membakar lahan untuk kepentingan korporasi atau kepentingan pribadi. Bahkan beliau mengatakan bahwa 70% lahan hutan itu dibakar dan 30% sisanya merupakan faktor alam. Jawaban itu disampaikan dalam Presedential Lecture di Lemhannas, Jl. Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Selasa (8/9/2015). Dan yang menarik ia menyatakan dengan yakin bahwa, oknum-oknum yang melakukan pembakaran hutan adalah para pengusaha dan sebagian kecil warga juga ada yang terprovokasi melakukan tindakan membakar mengikutinya.
Siapakah perusahaan pembakar hutan tersebut? Sampai sekarang pemerintah belum mau menyebutkan perusahaan pembakar hutan dengan berbagai macam pertimbangan. Tentu kita akhirnya menduga-duga dari kejauhan bahwa pelaku pembakar hutan tersebut adalah kawan pendukung saat pemilu kemarin, yang kebetulan memiliki konsensi lahan dan hutan di wilayah kebakaran tersebut. Bila diungkapkan, khawatir dapat menggangu rencana investasi industri sawit yang akan diinvestasikan. Atau mungkin ada kepentingan lainnya yang kita tak pernah tahu. Kita hanya dibuat kecewa karena tak lama setelah lahan dan hutan itu terbakar, tumbuh bibit sawit di lahan-lahan tersebut.
Membakar lahan untuk tanaman kelapa sawit menjadi pilihan para pengusaha atau masyarakat karena selain murah, juga mudah dilakukan. Dengan membakar lahan, dana yang dibutuhkan untuk membuka lahan sawit sekitar Rp600 ribu-Rp800 ribu/ha. Sementara bila dilakukan dengan mekanisme land clearing atau proses alami membutuhkan anggaran tidak kurang Rp3-4 juta/ha. Selain itu, pembakaran lahan juga cara yang mudah dilakukan karena tidak diperlukan teknologi atau alat-alat berat. Tidak perlu banyak orang juga untuk melakukannya, cukup minyak dan korek api saja dan selebihnya biarkan angin yang akan membesarkan api dan meludeskan lahan tersebut.
Menarik jika kita kaitkan kebakaran hutan ini dengan tanggung jawab sosial perusahaan. Dalam UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 74 Ayat (1) menjelaskan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.” Mengacu UU ini, perusahaan wajib untuk melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Perusahaan berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan mempertimbangkan faktor lingkungan hidup. Dunia usaha tidak boleh hanya memperhatikan keuntungan yang didapatkan, namun juga harus memperhitungkan aspek sosial, dan lingkungan. Ketiga elemen inilah yang kemudian bersinergi membentuk konsep pembangunan berkelanjutan.
Dalam bukunya “Cannibals with Forks”, John Elkington pada tahun 1997 mengembangkan konsep triple bottom line melalui economic prosperity, environmental quality, dan social justice. Melalui konsep ini Elkington mengemukakan bahwa perusahaan yang ingin terus menjalankan usahanya harus memperhatikan 3P yaitu profit, people and planet. Perusahaan yang menjalankan usahanya tidak dibenarkan hanya mengejar keuntungan semata (profit), tetapi mereka juga harus terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people), dan berpartisipasi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Ketiga prinsip tersebut saling mendukung dalam pelaksanaan program CSR.
Lalu bagaimana bisa perusahaan membiarkan lahan hutan yang dikuasainya dibiarkan terbakar dan melalaikan konsep 3 P tersebut. Pembiaran pembakaran itu telah membuat dampak yang sangat besar, bai dari sisi ekonomi mapupun sosial. Bayangkan berapa banyak masyarakat yang terkenda ISPA karena terpapar asap? Berapa banyak pula warga yang kehilangan penghasilan karena asap? Dan berapa banyak penerbangan yang dibatalkan, juga karena asap?
Banyak masyarakat akhirnya berpikir, bahwa kesejahteraan dan kelestarian lingkungan hidup tidaklah menjadi faktor penting saat lahan atau hutan yang dikusasi perusahaan itu terbakar. Akhirnya masyarakat berpikir bahwa perusahaan itu semata mengejar keuntungan. Bahkan bila perusahaan-perusahaan itu tiba-tiba melakukan program CSR di lokasi yang dekat dengan masyarakat terdampak, paling-paling hanyalah kegiatan yang sifatnya charity. Tidak ada program yang berkelanjutan dan dalam jangka panjang memandirikan masyarakat.
Padahal, perusahaan yang melakukan usahanya dengan cara baik, menjalankan program CSR dengan baik, tentu akan menjadikan citra positif bagi perusahaan. Sehingga profit perusahaan juga meningkat.
Hasil survei yang dilakukan oleh Environic International (Toronto), Conference Board (New York) dan Princes of Wales Busines Leader Forum (London) menghasilkan temuan yang cukup mengejutkan. Masyarakat bisa bersikap galak terhadap perusahaan yang dinilai tidak melakukan CSR yang baik dengan cara ingin ”menghukum” dan 50 % tidak akan membeli produk dari perusahaan yang tidak melakukan program CSR dengan cara baik.
Jadi hati-hatilah bila gerakan sosial masyarakat telah mencantumkan nama perusahaan dalam daftar pembakar lahan atau hutan. Siap-siap produk olahan perusahaan Anda tidak dibeli alias diboikot. Jadi berhentilah “bakar dahulu hutan dan CSR kemudian”, karena sudah pasti itu melanggar prinsip usaha yang sehat dan bertanggungjawab.
Yuli Pujihardi,
Mahaiswa S2 Program Studi CSR Trisakti dan Direktur Eksekutif Dompet Dhuafa.