
MANTAN Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) divonis 10 tahun bui oleh Pengadilan Tipikor di Jakarta (11/7) karena terbukti menggunakan uang negara Rp14,1 miliar dan 30.000 dolar AS untuk keperluan pribadi dan keluarganya.
Begitu mudahnya kah uang negara dan rakyat diselewengkan?. Apa kerja aparat pengawas mulai dari Satuan Pengawas internal (SPI), inspektorat, auditor, BPK, BPKP, Saber Pungli untuk mencegah dan mengawasi kebocoran anggaran negara?
Dari perspektif yang lebih luas, kasus penggunaan uang negara secara banal atau absurd atau konyol seperti dilakukan SYL semestinya dijadikan pintu masuk untuk mencegah dan juga mendalami apakah kasus serupa tidak terjadi di instansi lain termasuk birokrasi di daerah?
Contoh-contoh kasus lain sudah banyak, termasuk program bansos di tengah pandemi Covid-19 yang ditilap Mensos Juliari Batubara, bantuan mesin jahit dan sarung oleh Mensos sebelumnya, Bakhtiar Chamsah, lalu Mensos Idrus Marham yang merangkap jadi calo proyek PLTU Riau.
Masih ingatkah conth ekstrim lainnya, penggunaan dana APBD Provinsi Papua Rp560 miliar oleh Gubernur Papua saat itu, Lucas Enembe (almarhum) untuk membayar deposit di judi kasino di luar negeri?.
Tak terhitung kasus korupsi untuk program-program sosial dan kemanusiaan, bantuan bencana alam, pengadaan al-Quran sampai u perbaikan gizi untuk anak-anak tengkes.
Bahkan Presiden Jokowi sendiri pernah menemukan, anggaran program tambahan gizi bagi anak tengkes di suatu wilayah sebesar Rp10 miliar, hanya Rp 2 miliar digunakan sesuai tujuan, masing-masing Rp3 miliar untuk biaya perjalanan dan rapat-rapat, Rp2 miliar lagi untuk pengembangan (?).
Tidak tanggung-tanggung
Penjarahan anggaran negara yang dilakukan SYL juga tidak tanggung-tanggung, mulai biaya perawatan wajah untuk isteri dan puterinya, pesan makanan online rutin untuk karyawan di rumah pribadinya.
Tak hanya itu, SYL juga menggunakan puluhan juta rupiah anggaran kementan untuk membeli durian, parfum, sepatu dan barang-barang keperluan pribadi, kado kondangan, sedangkan untuk anaknya a.l. pembayaran cicilan mobil, renovasi kamar dan untuk cucu, biaya HUT dan khitanan serta honor magang di kementan.
Lebih mencengangkan lagi, penanyi dangdut Nayunda juga dibayar Rp100 juta dari anggaran kementan dan mendapat honor bulanan sebagai pekerja honorer di kementan atas rekomendasi SYL walau ia cuma ngantor dua kali.
Tanpa merasa bersalah, dalam pembelaannya, SYL berdalih dan mengklaim, sebagai mentan ia berkontribusi menghasilkan Rp2.400 triliun rupiah uang bagi pemasukan negara. Tidak dirinci, hasil pemasukan bagi negara sebesar itu dari mana asalnya?
Lagi pula, setiap orang, pejabat atau politisi yang bekerja sesuai profesi atau instansinya, dianggap berjasa pada negara, sehingga boleh atau wajar saja untuk semena-mena menggunakan uang negara? Nalar dan logikanya di mana ya?
Layaknya praktek korupsi yang tidak dilakukan sendirian, kasus SYL juga menyeret dua pejabat kementan yakni Sekjen Kementan Kasdi Subagyono dan Direktur Alat dan Mesi Pertnian M. Hatta.
Keduanya, “ikut main” dengan melakukan pemerasan terhadap para pejabat di lingkup kementan sampai Rp 44,5 miliar dengan dalih permintaan SYL, padahal, yang dimanfaatkan SYL hanya Rp14,5 di agaknya juga hal biasa.
Sudah begitu parah dan agaknya sejumlah (oknum) pemimpin di negeri ini sudah kehilangan nurani sehingga jangan-jangan bancakan anggaran negara terjadi instansi atau lembaga pemerintah lainnya?
Ayo terus dibongkar dan diusut, siapa takut?