SILANG sengkarut antara Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan para pihak yang mendukung pengembangan vaksin Nusantara sukar ditengahi karena platform atau acuan yang digunakan dalam berargumentasi berbeda.
Hasil uji klinis tahap I terkait pengembangan vaksin Nusantara yang digagas mantan Menkes dr. Terawan Agus Putranto tidak diendors oleh BPOM sebagai regulatory body terkait obat dan makanan karena dianggap tidak memenuhi standar pengujian yang ditetapkan.
Berbeda dengan platform vaksin konvensional seperti Sinovac (China) dan AstraZeneca (Inggeris) melalui proses pelemahan atau inaktivasi virus yang sudah digunakan di Indonesia, vaksin Nusantara berbasis sel dendritik (unsur sel darah putih).
Sel dendritik diambil dari subyek (tubuh orang) yang akan diteliti, lalu “dikenalkan” melalui proses lab dengan antigen virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.
Setelah masa pengenalan dan pembiakan sekitar tujuh hari, sel dendritik disuntikkan lagi ke dalam tubuh orang bersangkutan dan teorinya, sel yang sudah mengenal antigen virus SARS-CoV-2 akan menciptakan kekebalan tubuh (antibodi).
BPOM menyimpulkan, pengembangan vaksin Nusantara tidak memenuhi cara uji klinis yang baik (Good Clinical Practice – GCP), pembuktian konsep studi ( Proof of Concept ), cara laboratorium yang baik (Good Laboratory Practice) serta cara produksi yang baik (Good Manufacturing Practice – GMP).
Dari hasil inspeksi BPOM ditemukan pula hal-hal yang tidak sesuai kaidah yang seharusnya dilakukan, misalnya: vaksin diproses tidak steril, tidak dilakukan validasi dan standarisasi metode pengujian serta terjadi inkonsistensi pencatatan data.
Lebih dari itu, 20 dari 28 subyek (relawan pada uji klinis tahap ke-1) atau 71,4 persen mengalami kejadian tak diinginkan level 1 dan level 2 berupa nyeri otot, nyeri sendi, sakit kepala, gatal-gatal, demam dan batuk-pilek.
Pengembangan vaksin Nusantara melibatkan Balitbang Kemenkes, Universitas Diponegoro dan RS. Dr. Karyadi, Semarang serta mitra dari AS, Aivita Biomedical Corp., sedangkan UGM yang semula diajak, mengundurkan diri.
Heboh yang Tak Perlu
Seperti disampaikan Ketua IDI dr. Daeng M Faqih, heboh soal vaksin sebenarnya tidak perlu terjadi karena persoalannya sangat sederhana jika pihak-pihak yang melakukan penelitian mematuhi protokol proses pengembangan vaksin.
“Penelitian tentang obat-obatan harus seizin BPOM yang berwenang memeriksa dan menilainya. Pelaku (penelitinya) tidak bisa menilai sendiri apa yang ditelitinya, “ tegas Faqih.
Hal senada disampaikan epidemiolog John Griffith University Dicky Budiman yang menegaskan, tidak ada jaminan proses penelitian aman sehingga setiap tahapannya memerlukan standar pengawasan yang tinggi oleh instansi berwenang (BPOM).
Ia juga mengatakan, membangga-banggakan vaksin Nusantara sebagai karya anak bangsa, keliru, karena di AS vaksin dengan platform dendritik juga sudah lama digunakan secara terbatas dalam penyembuhan kanker dan sekarang diuji coba juga di Provinsi Dalian, China.
Validitas uji klinis bakal vaksin yang dikembangkan (Nusantara) juga diragukan jika relawan yang dilibatkan sebelumnya sudah pernah disuntik dengan vaksin lain
Lebih jauh Dicky mengatakan, komunikasi di lingkungan komunitas ilmiah harus dibangun secara transparan oleh pengembang (peneliti) vaksin melalui publikasi di jurnal-jurnal atau paper terkait potensi (efikasi vaksin), risiko, manfaat dan kelemahan vaksin.
Dalam US Clinical Trial Government dan Kemenkes RI, bakal vaksin yang diuji dr. Terawan tersebut juga terdaftar (tulisan dr. Iqbal Mochtar, Kompas 29/4), namun dengan nama Cov-DCVac. Jadi entah, nama “vaksin Nusantara “nyomot” dari mana.
Jadi, jika dilihat secara utuh, kata dr. Iqbal, vaksin Nusantara jelas bukan karya anak bangsa, karena dikembangkan oleh perusahaan AS, Aivita mulai dari peneliti, konsep, hipotesis, hingga bahan dan dan kits-nya . Indonesia hanya sebagai lokus penelitian.
Sebanyak 105 politisi dan akademisi menyampaikan dukungan tertulis terhadap Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM-RI) yang tidak meloloskan hasil uji klinis tahap 1 bakal vaksin tersebut.
Diantara penandatangan pendukung BPOM a.l. mantan Wapres Budiono, mantan Menteri KLH Emil Salim, bintang filem Christine Hakim, aktor Butet Kartaraharja, akademisi Azyumardi Azra, tokoh pers Goenawan Muhammad dan budayawan EMHA Ainun Najib.
Dalam pernyataan mereka berjudul “Tim BPOM Maju Terus!” yang dirilis, Sabtu (17/4), disebutkan, penelitian vaksin harus diputuskan oleh lembaga yang memiliki otoritas untuk itu yakni BPOM
Dukung Vaksin Nusantara
Sebaliknya, tak hanya politisi, sejumlah tokoh nasional ada di barisan pendukung vaksin Nusantara seperti mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, eks Mensesneg Sudi Silalahi, mantan Sekretaris BUMN Said Didu dan mantan Menkes Siti Fadilah Supari.
Bahkan pernyataan Gatot yang mengait-ngaitkan keberpihakannya pada pengembangan vaksin Nusantara sebagai sikap seorang nasionalis dinilai netizen berlebihan dan tidak relevan.
“Saya ini lahir, makan, minum, mendapat ilmu di sini dan dididik sebagai seorang prajurit di bumi pertiwi. Ada hasil karya putra Indonesia yang terbaik, kemudian uji klinik, kenapa tidak saya dukung? Apapun saya lakukan untuk bangsa dan negara ini,” tutur Gatot.
Sedangkan Wakil Ketua Komisi IX DPR, Melky Laka Lena membantah ada motif politik di balik dukungan kalangan DPR terhadap vaksin Nusantara.
Melky menuding balik Kepala BPOM Penny K. Lukito yang menyeret isu ini ke ranah politik dengan mengerahkan para tokoh mendukungnya. ”Justeru BPOM yang tak mencerminkan independensi, bermuatan politik, “ ujarnya.
Kalangan DPR, lanjutnya, mendukung penelitian vaksin Nusantara karena prosesnya sudah sesuai protokol pengembangan vaksin, bisa menjadi solusi pengadaan vaksin dan juga karya anak bangsa yang harus didorong.
“BP POM pilih kasih, menghambat karya anak bangsa, padahal dua vaksin buatan asing (Sinofac dan AstraZeneca) yang sudah digunakan di sini dibedakan, tidak diuji lagi, “ ujarnya.
Padahal, faktanya, kedua vaksin itu sudah melalui rangkaian penelitian , mulai dari pra uji klinis (ke hewan) dan uji klinis tahap 1,2,3 di negeri masing-masing dan sudah diakui penggunaannya secara darurat (Emergency Use of Authorization – UEA) oleh WHO.
Polemik terkait vaksin Nusantara bakal terus berlanjut jika para pendukungnya “ngeyel” , walau sudah jelas dan terang-benderang, pengembangan atau penelitian obat dan vaksin harus melalui BPOM.
Dalam perspektif yang lebih luas, agaknya ada persoalan lebih serius yakni cacat nalar bawaan oleh sebagian elite dan politisi, dan heboh soal vaksin Nusantara hanya salah satu turunannya.
Dukung mendukung atau membela kepentingan, kelompok atau siapa saja dengan mengabaikan kaidah-kaidah hukum, aturan, acuan ilmiah, norma dan etika atau sebaliknya anti atau menolak pihak atau pemikiran lain secara “membabi-buta”, sering terjadi di panggung politik di negeri ini.
Contoh paling jelas, antara lain terkait revisi UU Tindak Pidana Korupsi yang semula ditentang publik tetapi didukung seluruh fraksi di DPR, begitu pula Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu sehingga dari kedua isu tersebut “buah pahitnya” kini baru terasa.
Jika perilaku partisan bak mengenakan kaca mata kuda semacam itu dibiarkan, apalagi dibarengi praktek “money politics” atau politisasi agama, misalnya untuk memilih pemimpin, bisa-bisa kita salah pilih. Jika ini terjadi, quo vadis bangsa dan negara ini?