SAAT eskalasi konflik di kawasan Timur Tengah meluas dan diambang perang terbuka antara Israel dan Iran, China melancarkan diplomasi untuk menengahinya.
China mengutuk eskalasi konflik terbaru di Timur Tengah antara kedua kekuatan militer di akasan itu sementara Menlu China Wang Yi berjanji, negaranya akan berdiri di sisi keadilan di sisi negara Arab, termasuk dengan Lebanon.
Situasi terakhir di kawasan itu, Israel sejak pekan lalu melancarkan serangan udara masif ke kantong-kantong milisi Hizbullah di Lebanon, menewaskan lebih 1.000 orang termasuk warga sipil dan ribuan luka-luka serta lebih 100-ribu mengungsi.
Sampai hari ini, walau Israel belum membalas serangan rudal Iran ke wilayahnya, PM Israel Benjamin Netanyahu mengingatkan, tidak ada musuh-musuh yang tak terjangkau dari ‘tangan’ Israel.
“Prinip kami, kami akan balas menyerang setiap negara yang menyerang negeri kami, “ ucapnya.
Iran mengguyur wilayah Israel dengan ratusan rudal balistik serta serangan drone April lalu untuk membalas kematian dua jenderal Pasukan Garda Revolusi Ira (IRGC) di Damaskus, Suriah akibat serangan udara Israel.
Pekan lalu, Iran kembali melancarkan serangan dengan rudal jelajah ke wilayah Israel untuk membelas kematian pimpinan Hamas Ismail Haniyeh yang sedang bertamu ke Teheran, 31 Juli lalu dan kematian beberapa komandan Hizbullah di Lebanon.
Salahkan AS
Media dan pejabat Pemerintah China dengan cepat menyalahkan Amerika Serikat atas dukungannya tak perna putus terhadap Israel.
Sebaliknya, hubungan China dengan Israel sendiri sebenarnya cukup hangat, seperti pernah dilukiskan oleh PM Israel Benjamin sebagai “pernikahan yang dilangsungkan di surga” dan menganggap Beijing sebagai pendukung perdamaian.
Namun sejumlah analis menilai, meskipun para diplomat China berbagi retorika dengan Israel dan AS, tindakan Beijing selama setahun terakhir lebih bersifat simbolis ketimbang substantif.
China lebih memilih retorika dan kebijakan berisiko rendah, seperti menentang pendudukan Israel atas wilayah Palestina di Mahkamah Internasional dan menahan diri untuk tidak terjun langsung seperti dilakukan AS, Perancis, Qatar, dan Mesir dalam dalam negosiasi bertujuan mengakhiri konflik.
China juga tetap mempertahankan hubungan ekonomi yang luas dengan Israel meskipun semakin vokal mengkritik negara tersebut di panggung global.
Peneliti kebijakan LN dan keamanan Dewan Timur Tengah di Doha, Qatar Hana Elsheaby menilai, sejalan dengan kebijakan LN khususnya di Timur Tengah pada khususnya,
“China adalah ‘aktor’ yang meraih keuntungan besar berbiaya rendah, hanya akan melibatkan diri sejauh ia bisa meraih manfaat sebanyak mungkin, seperti meningkatkan citra globalnya tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun dalam prosesnya,” kata Elshehaby kepada Al Jazeera.
“China tidak ingin membuat musuh di kawasan ini.” Namun, kehati-hatian relatif China tidak berarti bahwa China tidak memiliki sesuatu untuk ditawarkan.
China membeli minyak dari pemerintah yang berseberangan seperti Arab Saudi dan Iran, dan juga terus berdagang dengan Isrrael dan berinvestasi di sektor teknologinya meski ada perubahan retorika terhadap isu Palestina.
Uniknya, Beijing juga berhubungan baik dengan Turkiye dan Mesir yang bersitegang.
Jiwa dagang orang China agaknya juga dijalankan dalam kebijakan politik luar negeri negara itu. “Dalam situasi apa pun, yang harus dilakukan, peluang mencari keuntungan”. (Al Jazeera/Xin Hua/ns)