WASHINGTON – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menggemparkan dunia dengan rencana kontroversialnya terkait Jalur Gaza. Trump mengusulkan untuk merelokasi lebih dari dua juta warga Palestina dari Gaza.
Dia juga ingin mengubah wilayah tersebut menjadi destinasi wisata yang ia sebut sebagai “Riviera Timur Tengah.” Rencana ini mendapat kecaman luas dari berbagai pihak, tetapi mendapat dukungan dari Israel dan para pendukungnya di Washington.
Rencana Trump dan Tanggapan Global
Trump mengklaim bahwa Amerika Serikat akan mengambil alih Gaza, membersihkannya dari sisa-sisa perang, dan melakukan rekonstruksi besar-besaran. “Kami akan memilikinya dan bertanggung jawab untuk menyingkirkan bom yang belum meledak serta persenjataan lainnya,” ujar Trump dalam konferensi pers di Washington seperti dilansir dari BBC, Rabu (5/2/2025).
Namun, pertanyaan besar muncul mengenai nasib lebih dari dua juta warga Palestina yang tinggal di Gaza. Trump mengusulkan pemindahan mereka ke Mesir, Yordania, dan negara-negara tetangga lainnya, meskipun negara-negara tersebut telah dengan tegas menolak rencana tersebut.
Penolakan dari Palestina dan Dunia Arab
Pemimpin Palestina dengan tegas menolak rencana ini dan menegaskan bahwa Gaza adalah bagian integral dari negara Palestina. Hamas, yang menguasai Gaza, menyebut rencana Trump sebagai bentuk pengusiran paksa dari tanah mereka. “Tidak akan ada perdamaian tanpa negara Palestina yang merdeka dengan Gaza sebagai bagian utamanya,” kata seorang juru bicara Otoritas Palestina.
Negara-negara Arab juga mengecam keras rencana ini. Beberapa pemimpin Timur Tengah menyatakan bahwa relokasi paksa warga Palestina akan semakin memperburuk ketegangan di kawasan dan melanggar hukum internasional.
Isu Hukum dan Kelayakan Implementasi
Para pakar hukum internasional menilai rencana ini sebagai pelanggaran terhadap Piagam PBB dan Konvensi Jenewa. Pasal 49 Konvensi Jenewa dengan jelas melarang pemindahan paksa penduduk dari suatu wilayah, terlepas dari motifnya.
Selain itu, sulit membayangkan bagaimana Trump dapat memperoleh persetujuan dari Palestina untuk melaksanakan rencananya. Israel sendiri tidak memiliki kewenangan hukum untuk menyerahkan Gaza kepada pihak lain karena statusnya sebagai wilayah pendudukan.
Upaya Meredam Kontroversi
Sejumlah pejabat tinggi pemerintahan Trump tampaknya berusaha meredakan kontroversi yang ditimbulkan oleh pernyataan Trump. Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengindikasikan bahwa kontrol atas Gaza bersifat sementara sebelum warga Palestina bisa kembali setelah rekonstruksi. Sementara itu, utusan Trump untuk Timur Tengah mengatakan bahwa AS tidak akan mengirim pasukan ke Gaza, meskipun Trump sendiri tidak menutup kemungkinan penggunaan kekuatan untuk mengambil alih wilayah tersebut.
Meski banyak pejabat yang berusaha menurunkan tensi, pernyataan Trump tetap memiliki dampak besar. Para pengamat menilai bahwa retorika ini semakin memperkuat kelompok sayap kanan di Israel yang percaya bahwa seluruh wilayah dari Laut Tengah hingga Sungai Yordan adalah hak mereka secara historis dan keagamaan.
Dampak terhadap Gaza
Di sisi lain, situasi di Gaza tetap memprihatinkan. Setelah 15 bulan perang, lebih dari setengah juta warga Palestina telah kembali ke wilayah utara Gaza sejak gencatan senjata diumumkan. Namun, mereka menghadapi tantangan besar, termasuk minimnya tempat tinggal dan pasokan makanan. Banyak warga yang bersikeras untuk tetap bertahan di tanah mereka, meskipun kondisi yang mereka hadapi sangat sulit.
Seorang warga Gaza menegaskan sikapnya terhadap rencana Trump, “Tidak ada yang bisa memaksa kami pergi. Kami akan membersihkan puing-puing ini dan tetap tinggal di sini, apa pun yang terjadi,” seperti dikutip dari BBC.
Dengan segala kontroversinya, rencana Trump tampaknya sulit untuk direalisasikan, terutama karena berbagai hambatan hukum, politik, dan logistik. Meski demikian, pernyataan Trump telah memicu ketegangan baru di Timur Tengah dan menjadi sorotan dalam perdebatan global tentang masa depan Gaza.