Galaunya Prof. Mahfud MD

0
598
Karikatur tentang jual beli hukum yang sering terjadi di Senayan (DPR). (Matanews.com)

RASA galau itu sudah menjadi hak semua anak bangsa, karena itu sangat manusiawi. Tapi galaunya pakar hukum tatanegara yang juga mantan Ketua MK, Mahfud MD, sangat lain! Beliau mengaku galau karena, prinsip-prinsip hukum dengan sengaja dirusak oleh orang-orang yang paham hukum demi kepentingan politik semata. Karena galau itu manusiawi, Profesor bolah-boleh saja galau, tapi yang penting jangan sampai kena vertigo seperti Ketua DPR kita.

Yang sangat bikin Mahfud MD galau bin gundah gulana, kadang kala orang-orang yang sudah tahu hukum, karena kepentingan politik  mereka dengan sengaja merusak prinsip-prinsip hukum itu sendiri. Bisa untuk kepentingan kekuasaan (politik), bisa juga untuk kepentingan keuangan.

Dalam soal pembubaran ormas HTI misalnya, Mahfud MD beda pendapat dengan Yusril Ihza Mahendra. Menurut Yusril, ormas tidak boleh ditindak sebelum ada putusan hukum. Sedangkan kata Mahfud MD, boleh! Alasannya, yang dilakukan pemerintah atas HTI itu adalah menyangkut hukum administrasi negara. Dalam hukum pidana sebagaimana pendapat Yusril Ihza Mahendra memang betul. Proses dulu lewat pengadilan, setelah ada vonis baru kemudian eksekusi.

Guru Besar UII Yogyakarta itu mengaku sampai pikirannya ikutan kacau, melihat kacaunya hukum di Indonesia. Ada 3 hal yang menyebabkan hal itu terjadi. Pertama, hukum digugat karena kurangnya pengalaman si pembuat hukum yang tidak profesional atau tidak ahli. Kedua, karena adanya permainan politik atau tukar-menukar materi dalam membuat suatu undang-undang. Ketiga, karena adanya penyuapan anggota Dewan dalam penyusunan UU.

Di negeri ini, asal sudah bergelar SH sudah dianggap pakar dalam urusan hukum. Maka ketika menjadi anggota DPR, penempatannya langsung di Komisi III (Hukum). Padahal dalam prakteknya, keahlian hukumnya yang masih minim itu malah dibuat untuk mencari komisi lewat jual beli pasal.

Gara-gara SH yang masih pupuk bawang tapi ikut-ikutan membuat UU, hasil produksinya masih mentah. Yang terjadi kemudian, banyak diuji-materi di MK. Saat menjadi Ketua MK (2008-2013), Prof. Dr. Mahfud MD sering sekali membatalkan UU produk para wakil rakyat di Senayan.

Permainan politik atau tukar-menukar materi dalam membuat UU, Mahfud MD mencontohkan, “Kalau mau peraturan begini, saya setuju kata sebuah parpol. Tapi yang ini harus begini.” Soal penyuapan anggota Dewan, dicontohkan: “Tolong buat pasal begini, ini bayarannya. Buatkan 1 ayat begini di pasal begini, ini bayarannya.”

Itu tawar menawar di Senayan (DPR). Tapi yang di dunia pengadilan, Mahfud memberi contoh bagaimana praktek jual beli hukum itu terjadi. Misalnya, sarjana hukum yang duduk sebagai hakim. “Saya hakimnya, kalau saya sarjana hukum saya bisa mencari dalil untuk menyatakan A pemenang, B salah,” kata Mahfud. Lalu kata Mahfud MD lagi, “Ini loh A menang menurut pasal ini, UU ini, B kalah. Tapi saya juga bisa mengatakan B menang dan A kalah. Dalilnya UU nomor sekian, A kalah,” lanjut Mahfud MD.

Nah, jual beli hukum bisa terhadi karena tiadanya moral yang baik di antara para praktisi hukum. Jika mereka punya moral dan integritas, tak mungkin terjadi tawar-menawar hukum. “A mau bayar berapa? Saya Hakim, saya Jaksa, mau bayar berapa? Berani Rp 10 miliar, kalau enggak berani saya jual ke B. Berani berapa?,” kata Mahfud MD.

Kata Prof. Dr. Mahmud MD, belajar hukum lewat internet bisa lebih pandai dari dirinya. Tapi soal moral tak ada di internet. Makanya Prof, biarkan saja. Mereka akan menerima sanksinya sendiri-sendiri, bila nggak di sini, ya “di sono”. Yang penting kegalauan Mahfud MD jangan sampai menjadikan dirinya kena vertigo seperti Ketua DPR kita. (Cantrik Metaram)

Advertisement div class="td-visible-desktop">