Peristiwa memalukan telah mencoreng dan mengguncang dunia pendidikan nasional pada awal Oktober lalu. Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) mengeluarkan keputusan untuk membatalkan jabatan guru besar terhadap 17 dosen Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Banjarmasin.
Rektor ULM, Ahmad Alim Bachri, mengakui telah menerima surat pembatalan jabatan guru besar tersebut. Ia menghargai dan menghormati keputusan Kemendiktisaintek.
Lantaran tidak ada penjelasan resmi, khalayak lantas menerka-nerka penyebab dicabutnya jabatan guru besar itu. Ada beberapa dugaan yang mendasari pencabutan gelar akademik tersebut, antara lain berupa rekayasa administrasi, pemenuhan persyaratan akademik yang tidak sah, hingga indikasi manipulasi karya ilmiah.
Guru besar atau profesor merupakan gelar akademik tertinggi di lingkungan perguruan tinggi. Ada beberapa persyaratan untuk bisa mencapai jenjang guru besar tersebut. Selain harus mengajar selama sepuluh tahun tanpa henti, calon guru besar juga harus memenuhi angka kredit tertentu.
Syarat lainnya adalah memiliki ijazah S3 atau doktor, baik dari dalam maupun luar negeri. Kemudian, syarat terakhir ini tergolong paling berat, yakni memiliki publikasi karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi. Banyak kandidat guru besar yang mengalami hambatan di bagian ini.
Lantaran hasrat tinggi untuk segera mendapat gelar guru besar, acap kali seorang kandidat mengirimkan karya tulis ke jurnal predator. Ini merupakan jurnal ilmiah yang tidak etis dan bersifat penipuan. Tujuan utama jurnal predator adalah mendapatkan uang dari penulisnya. Banyak yang tidak paham bahwa jurnal yang seolah memiliki reputasi internasional itu sejatinya hanya tipuan belaka.
Tulisan yang tidak berbobot ilmiah pun kadang bisa termuat di jurnal ini dengan syarat membayar sejumlah uang tertentu. Selain mengirim tulisan ke jurnal predator, ada kalanya calon guru besar mencomot karya orang lain atau melakukan plagiasi sebagai bahan karya ilmiahnya. Ini merupakan tindakan paling tidak terpuji dalam dunia akademis.
Menjiplak adalah tindakan tercela bagi seorang akademisi. Sangat tidak pantas seorang guru atau dosen melakukan penjiplakan atas karya orang lain. Tindakan semacam ini mestinya masuk dalam kategori pelanggaran etika yang sangat berat.
Seorang dosen atau guru wajib memberi contoh atau teladan yang baik bagi anak didiknya. Sesuai tiga filosofi yang dicetuskan Bapak Pendidikan Ki Hadjar Dewantara, guru harus memberi contoh utama pada murid-muridnya. Ing ngarsa sung tuladha, bermakna bahwa seorang guru ketika berada di depan harus memberi teladan atau contoh kebaikan bagi anak didiknya. Tindakan tercela harus dijauhkan dari perilaku seorang guru.
Kemudian ing madya mangun karsa. Ketika berada di tengah-tengah, guru harus bisa membangkitkan semangat atau memberi motivasi kepada murid-muridnya untuk berbuat kebaikan dan meningkatkan prestasi. Untuk membangkitkan kemauan, guru harus penuh inisiatif dan kreatif agar murid-muridnya terpacu untuk melecut prestasi dan berbuat baik.
Berikutnya adalah tut wuri handayani. Pada saat berada di belakang, guru harus mendukung dan mengarahkan murid-muridnya. Namun, ini bukan berarti guru bersikap acuh. Jika ada langkah keliru yang hendak ditempuh muridnya, guru wajib mengingatkan agar kembali ke arah cita-cita mulia.
Dalam pengertian bahasa Jawa, guru memiliki makna digugu lan ditiru. Digugu berarti segala tindak-tanduknya harus menjadi pedoman atau pantas dipercaya oleh murid-muridnya. Seorang guru juga harus jujur dalam memberikan penilaian kepada muridnya. Tidak boleh ada kongkalikong, apalagi pilih kasih.
Sementara ditiru berarti sang guru harus mampu memberikan keteladanan di mata muridnya sehingga perilakunya dapat dijadikan contoh yang baik oleh para siswanya. Jangan sampai guru berubah menjadi wagu tur saru.
Wagu berarti aneh atau tidak pantas. Perilaku guru harus menghindari hal-hal yang bersifat aneh atau di luar nalar. Akal sehat dan sopan santun harus menjadi pegangan seorang guru. Adapun saru berarti tidak pantas. Ini dapat dilihat dari cara berpakaian maupun bertindak. Nilai-nilai positif yang menjadi pegangan dalam kehidupan masyarakat harus senantiasa mencerminkan sikap seorang guru.
Nilai kejujuran menjadi pelajaran yang teramat penting dalam dunia pendidikan. Ketidakjujuran, termasuk menjiplak karya seseorang atau mencontek, merupakan benih bagi persemaian bibit korupsi. Orang yang melakukan tindak korupsi pada dasarnya telah memilih jalan tidak jujur dalam bekerja.
Oleh sebab itu, pemerintah harus memperlihatkan sikap tegas tanpa kompromi terhadap bentuk ketidakjujuran akademis. Jangan sampai tindakan yang diambil Kemendiktisaintek hanya sekadar formalitas belaka. Jangan pula setelah pencopotan gelar itu, para guru besar tersebut dalam waktu tidak terlalu lama bisa mendapatkan jabatan guru besar lagi.
Tindakan menjiplak juga pernah dilakukan oleh Anggito Abimanyu, dosen ekonomi Universitas Gadjah Mada, lewat tulisan opininya di harian Kompas. Sebagai konsekuensi, Anggito menyatakan mundur dari posisinya sebagai dosen. Namun beberapa tahun kemudian, Anggito meraih jabatan guru besar dari Fakultas Vokasi UGM. Tindakan ksatria Anggito yang mundur dari posisi sebagai dosen dan pegawai negeri sipil ternyata tidak diikuti konsistensi serupa di dunia akademis.
Peristiwa ini sekaligus menjadi contoh yang tidak baik dalam penegakan etika seorang guru. Mestinya tidak ada kompromi terhadap tindakan menjiplak. Tindakan tegas tanpa kompromi pula yang seharusnya diberlakukan kepada 17 guru besar ULM yang dinyatakan melakukan tindakan tidak terpuji, termasuk kemungkinan memanipulasi karya ilmiah.
Kita tunggu keseriusan pemerintah dalam masalah ini agar tidak terulang lagi di masa mendatang, sehingga etika dan kejujuran di dunia akademis bisa terjaga serta menular kepada anak didiknya.



