JAKARTA – Bukan tidak tahu bahwa rumahnya akan digusur hari ini, Sumiati sengaja tidak segera memindahkan barang-barang yang ada di rumahnya karena Ibu 40 tahun ini berharap ada toleransi dari pemerintah. Ia berharap pemerintah memberikan tenggang waktu eksekusi penggusuran rumahnya.
“Saya masih berharap, masih ada penundaan, tapi kenyataannya tidak ada,” ujarnya.
Selasa 12 Januari 2016, eksekusi penggusuran di daerah Kampung Melayu Kecil, Kelurahan Bukit Duri, RT 11,12,15 RW 10, Jakarta Selatan, dimulai. Walikota Jakarta Selatan Tri Kurniadi langsung hadir dilapangan memimpin penggusuran itu, bagi warga yang masih menempati rumahnya akan dibantu petugas untuk mengeluarkan barang-barang yang ada di rumah tersebut sebelum dirubuhkan.
“Kita berharap penundaan penggusuran agak lama, soalnya kita belum dapat tempat tinggal lagi,” lanjut Sumiati. Ibu yang sehari-hari membuka toko sembako bersama suaminya ini menambahkan bahwa dirinya tidak mau menempati rumah susun. “Kalau sama-sama bayar, lebih baik kami ngontrak rumah, itu namanya bukan penggantian. Sama aja kita ngontrak,” pungkasnya.
Di tangan petugas Sumiati menjadi tidak berdaya, harapan penundaan menjadi pupus. Petugas Satpol PP membantu Sumiati mengangkat barang-barang yang ada di dalam rumahnya. Setiap langkah membawa barang ke luar rumah, diiringi tetesan air mata yang tak dapat dibendun. Sumiati dan anak-anaknya bergotong royong mengangkat perabotan dapur milik mereka. Sedangkan sang ayah terus meminta kebijaksanaan kepada petugas untuk dapat menunda eksekusi rumah mereka.
Sumiati teringat, betapa pahitnya masa-masa membangun rumah itu. Sedikit demi sedikit Sumiati dan suaminya membangun rumah yang mereka tempati puluhan tahun tersebut. Ketika siang, Sumiati menyewa warung untuk menjual makanan tidak jauh dari rumahnya, namun saat fajar terbenam suaminya yang menjadi juru kunci di warung tersebut.
Hari ini mereka harus menerima kenyataan bahwa hasil jerih payah mereka selama ini harus mereka pasrahkan dilumat oleh alat berat yang hanya dengan sekejap merobohkan dinding tempat Sumiati dan keluarga berlindung dari panas dan hujan selama ini.
“Saya merasa dirugikan, karena hasil jerih payah kami membangun rumah tidak dibayar sepeser pun oleh pemerintah,” ungkap ibu dari 3 anak tersebut. Kerugian ditaksir mencapai ratusan juta rupiah.
Masih beruntung, warung yang disewa Sumiati tidak berada di titik penggusuran. Tempat yang berukuran 4 x 3 meter tersebut merupakan satu-satunya harapan Sumiati, suaminya, serta 3 anaknya untuk beristirahat malam ini. Dengan uang seadanya, besok Sumiati berencana mencari rumah kontrakan yang murah.
Meski kehilangan rumah dan harta karena penggusuran, namun Sumiati dan keluarga sangat setuju upaya normalisasi kali Ciliwung yang digagas oleh Pemprov DKI Jakarta. Ia juga merasa sedih kala banjir melanda. Ia pun pernah jadi korbannya setiap tahun. “Saya setuju dengan program ini, tapi harapan saya, pemerintah memberikan ganti rugi yang seadil-adilnya,” pungkas Sumiati sambil rehat setelah cape mengangkat barang-barangnya.