JAKARTA – Pengendalian tembakau di Indonesia masih terbilang lemah, meskipun sudah ada beberapa Kawasan Tanpa Rokok (KTR) namun penerapannya oleh masyarakat masih setengah-setengah. Hal tersebut dikatakan oleh Sudibyo Markus, Dewan Penasehat Indonesia Institute for Social Development (IISD) kepada media dalam acara overview media Pengendalian Tembakau di Indonesia.
“Ada 7 tempat untuk tidak boleh merokok di ruang publik, namun masalahnya kita melihat itu hanya sepotong-sepotong, misal di masjid ya hanya di tembok itu, di sekolah ya di gedungnya, begitu keluar gerbang ting trempel poster-poster rokok di warung lha wong mereka jualan,” ujarnya kepada media, Kamis (22/4/2021).
Ditambahkan Sudibyo, sebetulnya kalau dirunut PP 109 di pasal 2 itu disebutkan perorangan, kelompok atau disebut lingkungan, jadi ketika disebutkan lingkungan semestinya sudah berfikir kreatif inovatif.
7 larangan tempat KTR itu membawa satu kesatuan sehingga harus dikihat bahwasanya kawasan lingkungan tanpa rokok ada dimanapun kita berada.
“Oleh karena itu untuk teman-teman kreatif kawasan tanpa rokok tersebut bagaimana merubah mindset potongan tadi menjadi satu kesatuan seperti satu kawasan,” tutur Sudibyo.
Selain itu acara diskusi tersebut dipaparkan juga oleh pemateri Dewanto Samodro, pengajar UPN Jakarta, bagaimana perspektif media tentang isu di masa pandemi Covid-19.
Menurutnya ketika sedang merokok, tangan akan lebih sering bersentuhan dengan bibir. Dan hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya perpindahan virus dari tangan ke mulut, apalagi jika tangan tidak sering-sering dicuci.
“Rokok pipa, atau sisha, bahkan sering dilakukan dengan berbagi banyak mulut, yang dapat memberi jalan penularan virus penyebab Covid-19 dalam komunitas.” ucap Dewanto.
