GARA-GARA rendahnya disiplin nasional, di negeri ini aturan digelar justru untuk dilanggar. Dan itu ternyata malah menguntungkan oknum petugas pemangku kekuasaan. Pada Dinas Tata Bangunan misalnya, pelanggaran mereka toleransi asal ada kompensasi berupa finansi. Ini banyak terjadi di kota mana saja. Maka publik pun menjadi sinis, sehingga mempelesetkan akronim IMB menjadi: Izin Mengakali Bangunan.
Tentu saja itu pelanggaran oleh oknum petugasnya, bukan secara kelembagaan. Pihak dinas sih maunya tertib, sehingga kota tertata rapi dan bersih, nyaman dipandang. Cuma yang namanya oknum, duit itu terasa gurih jika dalam jumlah banyak. Tak peduli ulahnya akan merusak karakter bangsa secara nasional, duit tidak halal itupun diterima dengan senang hati. Maklum, di dunia ini yang tidak doyan duit hanyalah ayam!
Tiba-tiba ada kabar mengejutkan, demi memperlancar masuknya investasi bidang property, pemerintah berniat menghapus IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Serius nih? Jika ini diberlakukan secara umum, sama saja memburu tikus tapi yang dibakar lumbungnya. Bukankah sudah menjadi rahasia umum, ada kewajiban IMB saja banyak yang melanggar, apa lagi dihapuskan, tata ruang dan tatakota bisa berantakan dibuatnya!
Biang keroknya memang otonomi daerah. Gara-gara itu, Pemda bisa melawan Pemprov, dan Pemprov pun bisa menentang pemerintah pusat. Akibatnya sering terjadi, pemerintah maunya begini, tapi daerah malah maunya begono! Karenanya jadi tidak sinkron, bagaikan “rujak sentul”, satu jalan ngalor satunya jalan ngidul.
Mendagri Tjahjo Kumolo pernah pusing tujuh keliling, karena Perda sering tidak paralel dengan kebijakan pusat. Ada sekitar 3.114 Perda yang bermasalah sehingga terpaksa dibatalkan. Tapi sialnya, Pemda melawan lewat uji materi di MK dan pemerintah dikalahkan. Artinya, Mendagri tak berwenang membatalkan Perda. Klipuk (mati kutu) kan, jadinya!
Padahal gara-gara Perda yang pating penthalit (simpang siur) tersebut, masuknya investasi dari manca negara jadi terhambat. Karenanya, untuk menyiasati ulah Pemda-Pemda, kini pemerintah menghapus kewajiban IMB. Kata Menteri Agraria-Tata Ruang Sofyan Jalil, dengan cara ini diharapkan investasi asing khususnya bidang property menjadi lancar jaya.
Jika penghapusan IMB itu hanya secara terbatas dan khusus, masih bisa diterima. Tapi jika dihantam kromo, semua IMB termasuk perumahan dihapus, itu sama saja memburu tikus kok malah lumbungnya yang dibakar. Kebijakan ala Abunawas ini bisa bikin kacau tata ruang dan tatakota.
Ada kewajiban IMB saja banyak yang melanggar, apa lagi dibebaskan, semakin seenaknya mendirikan bangunan. Sekedar contoh, daerah Cilangkap Jakarta Timur, di era Orde Baru termasuk jalur hijau, tidak boleh dibangun. Tapi pasca Orde Baru jatuh, kini banyak rumah bermunculan, meski tak ada IMB-nya.
Di perkavelingan resmi DKI, setiap rumah harus punya GSB (Garis Sepadan Bangunan) minimal 3 meter. Tapi faktanya, banyak GSB-nya yang tinggal 0,5 meter. Rumah di huk, depan dan samping harus ber-GSB sama, tapi juga banyak dilanggar. Pemkot malas menindak, karena anggaran bongkar terbatas.
Jika rencana Kementrian Agraria dan Tata Ruang itu benar-benar diberlakukan, oknum petugas Dinas Tata Bangunan di berbagai daerah bisa mampet rejekinya. Mereka tak ada alasan lagi “memeras” pemilik gedung yang mengakali bangunannya. Padahal biasanya, baru melihat orang bawa pasir dan semen saja dari toko material, sudah dibuntuti dan kemudian dikompromikan. Intinya, silakan Anda mengakali bangunan, tapi harus ada kompensasi buat kami. Apa itu, ya tentu saja finansi yang jumlahnya harus lebih banyak ketimbang sekedar untuk beli nasi.
Maka benar kata pakar Hukum Pertanahan dan Properti Eddy Leks, ketimbang pemerintah membakar lumbung padi gara-gara susah tangkap tikusnya, mendingan aturan pusat dan daerah disinkronkan saja. Karena IMB diperlukan setiap daerah sesungguhnya untuk mengendalikan tata ruang. Betapa semrawut dan kumuhnya sebuah kota, jika tak ada lagi pengawasan dalam mendirikan bangunan. (Cantrik Metaram)
