Jembatan Kota Paris

0
333
Perhatikan, di ujung jembatan Kota Paris sudah dipasang tembok perintang, eh masih juga diloncati......

YANG suka tawuran itu para kawula muda, tapi kemudian yang jadi kambing hitam jembatannya. Ini hanya terjadi di Jakarta Pusat, tepatnya antara Kelurahan Tanah Tinggi dan Kampung Rawa. Antar anak muda kedua kampung itu sering berantem karena hal-hal sepele, dan mereka menjadikan Jembatan Kota Paris sebagai akses ke “medan laga”. Sepertinya pihak kelurahan dan polisi sudah “putus asa” mengatasinya, sehingga ketika ada usulan agar jembatan tersebut dibongkar, Pemprov DKI terpaksa mengabulkan.

Sebenarnya anak muda antar kampung berantem, sudah merupakan cerita lama di Ibukota. Paling terkenal dulu adalah “pertempuran” antar anak muda Palmeriam di sebelah timur Jl. Raya Matraman, lawan anak muda Kebon Manggis (Berlan) di sebelah barat Jl. Matraman Raya. Mareka langganan tawuran, sehingga untuk mencegahnya Gubernur Sutiyoso terpaksa membangun “tembok Berlin” berupa pagar tinggi di jalan raya Matraman.

Efektifkah cara itu? Kurang jelas! Yang pasti tawuran anak muda/pelajar terus terjadi. Cuma lokasinya bergeser (atau menyebar) ke wilayah lain, misalnya Tanah Tinggi. Mereka berapa  kali bentrok dengan kampung Kota Paris yang berjarak ribuan kilometer dari Prancis. Di wilayah ini, tawuran sering berlangsung lawan warga Kampung Rawa dengan Tanah Tinggi. Terakhir pada 4 April 2020 lalu. Dan bak iklan teh gendul, apapun yang diberantemkan, lewatnya pasti jembatan Kota Paris!

Ya memang jembatan Kota Paris inilah yang menjadi akses paling vital dan strategis untuk menuju ke “medan laga”. Jembatan di atas Kali Seniong ini menghubungkan Kampung Rawa di Johar Baru dengan Tanah Tinggi. Pernah mereka berantem hanya karena soal pertandingan bola. Bulan Ramadan pun bukan penghalang bagi mereka, karena batu-batu yang ditimpukkan justru direken takjil untuk pihak lawan.

Perilaku anak muda yang Kampung Rawa – Tanah Tinggi ini mengingatkan pada kisah Ramayana, seputar pertempuran prajurit Pancawati lawan Ngalengka gara-gara urusan cewek (Dewi Sinta). Ketika hendak menyerang Ngalengka, prajurit Pancawati juga memerlukan jembatan untuk menuju daerah lawan. Prabu Rama selaku raja Pancawati telah dapat bantuan dewa berupa Jembatan Setubanda yang membentang dari Pancawati hingga Ngalengka.

Untuk mengetes kemampuan jembatan tersebut, Prabu Rama minta tolong pada salah satu prajurit handal Anoman. Kera berbulu putih itu tipe prajurit yang sok gengsi banget,  merasa malu jika tak mampu menghancurkan jembatan made in kahyangan itu. Maka dia memusatkan segala kekuatan, ajian Maundri dan Wungkal Bener, sehingga dua kali genjot jembatan itu pun patah. Malu untuk minta jembatan baru lagi ke dewa, Prabu Rama memerintahkan pembuatan jembatan tradisional berupa tumpukan batu-batu laksana bendungan.

Jika Prabu Rama kadung malu, warga Kampung Rawa – Tanah Tinggi  dan aparat setempat kadung “putus asa” atas perilaku para anak muda nakal di wilayahnya. Jalan satu-satunya untuk mencegah tawuran itu kembali terjadi, hanyalah dengan merobohkan jembatan itu. Pernah jembatan itu diberi penghalang berupa tembok, eh diloncati. Akhirnya kedua lurah di dua wilayah itu mengusulkan pada Walikota Jakpus, agar dibongkar jembatannya. Walikota Bayu Megantara sempat menyetujui usulan warga, tapi eh…… keburu beliaunya  dibongkar jabatannya gara-gara urusan Prokes terhadap kelompok Rijiek Shihab.

Bukannya Pemkot Jakpus tak mampu membongkar jembatan tersebut, tapi karena jembatan itu merupakan aset Dinas Bina Marga. Kini Wagub Ahmad Riza Patria sudah memberi lampu hijau, sehingga Kadis Bina Marga Hari Nugroho siap membongkarnya. Caranya, dihapus dulu jembatan Kota Paris itu dari aset Bina Marga, baru dibongkar. Jika tidak, nanti bisa dimasalahkan oleh pihak BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).

Tanpa jembatan Kota Paris tersebut, nantinya jika para anak muda hendak berantem, terpaksa ngrubyuk terjun ke kali. Beranikah mereka? Atau muter ke jembatan lain yang lebih jauh, dengan resiko emosi sudah kembali menurun dan kemudian menyadari bahwa berantem antar sesama anak bangsa itu tak ada gunanya. (Cantrik Mataram).

 

 

 

Advertisement div class="td-visible-desktop">