Manusia, adalah puncak tertinggi evolusi menurut sebagian teori. Adalah makhluk paling sempurna yang turun dari surga bagi umat beragama. Jika anda bertanya kepada saya, maka saya akan lebih percaya jika manusia itu adalah keturunan Adam dan Hawa. Kita adalah makhluk yang memiliki akal, nalar, rasa dan imajinasi serta satu hal yang membuat kita bertahan hingga saat ini, yaitu nafsu. Kemampuan kita dalam menjembatani nafsu melalui akal yang dibarengi oleh rasa itulah yang membedakan kita dengan hewan. Hal ini pula-lah yang dipetakan oleh Sigmund Freud dalam konsep Id, Ego dan Superego dalam teori Psikoanalisa.
Jika kita hanya berbicara tentang kecerdasan, ada pula beberapa spesies hewan yang tingkat kecerdasannya pun hampir setara dengan manusia. Namun mengapa dalam katakanlah seratus tahun terakhir, kita tidak pernah mendengar kabar ada upaya makar yang dilakukan oleh simpanse untuk menguasai dunia, atau aksi mogok kuda sedunia dalam melawan eksploitasi hewan. Karena kecerdasan saja tidak cukup, butuh sesuatu yang lebih untuk menjadi seorang manusia seutuhnya, dan itu adalah kemanusiaan. Sesuatu yang muncul dari empati, rasa cinta dan logika, bercampur baur teraduk dalam pengalaman zaman, berkelindan dengan usia eksistensi manusia pertama hingga manusia masa kini.
Bagi saya, tanpa rasa kemanusiaan, manusia tidak lebih dari seekor predator puncak dalam rantai makanan, tanpa rasa keterikatan, saling menghancurkan dan pada akhirnya hilang ditelan zaman. Rasa kemanusiaan lah yang membuat manusia atau sekelompok orang memiliki rasa keterikatan, rasa senasib dan sepenanggungan yang pada akhirnya berfikir lebih jauh untuk mempertahankan eksistensi disaat menjadi korban agresi. Maka muncul ide tentang kebebasan, kemerdekaan, dan sebagainya yang menggerakkan roda perlawanan suatu kaum atas sebuah penindasan.
Belakangan ini kita dipertontonkan suatu momen nyata dimana rasa kemanusiaan rupanya sudah benar-benar hilang dari sekelompok orang. Bagaimana tentara Zionist melakukan pemboman besar-besaran, penyerangan dan kekerasan yang sangat menjijikkan. Saya katakan menjijikkan karena mereka adalah tentara profesional terlatih yang dengan sengaja menyerang dan membunuh warga sipil tak berdosa apalagi mayoritas wanita dan anak-anak. Bahkan terakhir saya melihat sebuah video rekaman buldozer pasukan laknat itu dengan sengaja menabrakkan diri dan menghancurkan tenda pengungsian dimana didalamnya terdapat wanita, anak-anak, petugas medis hingga orang yang sedang terluka. Astaghfirullahal ‘adziim.. Laa Hawla Walaa Quwwata Illa Billah..
Dunia sudah cukup muak melihat perilaku bejat para tentara laknat yang bertindak seenak jidat. Dunia mengutuk, mengecam keras, melakukan aksi protes, memboikot namun mereka tetap bergeming. Dengan invasi darat yang tak kunjung mendapatkan hasil yang signifikan, mereka penuhi media dengan propaganda, bohong-berbohong sudah menjadi biasa bagi mereka. Bahkan saking putus asa mereka, tawanan yang notabene adalah warga mereka sendiri diberondong hingga mati terkapar, menggelepar. Padahal oleh pasukan pejuang sudah “dimodali” oleh bendera putih agar mereka tidak menjadi sasaran tembak manakala terjadi kontak senjata. Tapi ya begitulah kelakuan tentara setan, mereka tetap tembak apapun yang bergerak.
Bagi kita manusia normal yang masih memiliki sisa-sisa rasa kemanusiaan dalam samudera kehidupan modern nan apatis ini. Adalah menjadi suatu hal yang normal ketika kita melakukan aksi demonstrasi, mengecam tindakan barbar mereka, melakukan boikot demi menegaskan di posisi mana kita berpijak dalam konflik antara kebenaran melawan kebathilan. Bagi sebagian lainnya yang “melek” dengan sosmed, mereka ikut serta dalam gerakan #julidfisabilillah yang walaupun terdengar lucu nan receh namun ternyata cukup signifikan dalam menjatuhkan mental para tentara “setan Israel”.
Pada akhirnya, saya berkaca, berkontemplasi, melihat sejauh mana sisa rasa kemanusiaan masih ada didalam diri ini. Menetapkan dimana saya berpijak antara kebaikan melawan kebathilan. Seperti dalam sebuah fragmen dimana Nabi Ibrahim AS dibakar oleh raja Namrud, ada seekor burung pipit kecil yang lalu lalang sibuk membantu menyiramkan air ke kobaran api raksasa dengan paruhnya yang kecil. Di sisi lain adalah cicak yang coba untuk meniup-niupkan air dengan harapan menjadi lebih besar. Burung pipit bukannya tidak sadar, dia paham bahwa yang dilakukannya itu hampir tidak berdampak apapun, namun setidaknya dia menetapkan posisi yang jelas dimana harus berpijak dalam konflik abadi antara kebenaran melawan kebathilan.(ABP, 18 Des 2023)