JANGAN main-main dengan tanah makam, bisa kualat! Ingat kasus Ketua DPRD Bogor yang ditangkap KPK tahun 2013? Iyus Juheri ditahan KPK pertengahan April, tapi 6 bulan kemudian, 23 Oktober 2013 meninggal ketika masih menunggu vonis dari hakim Tipikor, Bandung. Betapa “sakral”-nya tanah pemakaman itu, sehingga barang siapa coba-coba mengkomersilkannya secara tidak patut, bisa menerima “vonis” Allah SWT dengan cara tragis.
Mengapa orang tega mengkomersilkan tanah kuburan? Karena sekarang banyak areal pemakaman yang bernilai komersil. Sesuai pertumbuhan ekonomi para anak bangsa, banyak orang yang rela mengeluarkan uang puluhan bahkan ratusan juta untuk sebuah pemakaman yang nyaman dan bergengsi. Padahal di alam sana, belum tentu kehidupannya juga nyaman. Sebab kesemuanya sangat tergantung amalnya ketika masih di luar kuburan.
Ketika mendengar nama San Diego Hills, ingatan orang pastilah ke kota pantai di California Selatan, AS. Maka ketika sebuah berita lelayu mengabarkan bahwa almarhum atau almarhumah akan dimakamkan di San Diego Hills, bagi yang belum mengerti pasti menduga jenazah akan dimakamkan di California sana. Tapi namanya kok berbau melayu? Ternyata, dia memang Indonesia asli, dan letak pemakaman San Diego Hills ternyata juga cuma di Karawang.
Bila kita ketik “kasus tanah kuburan”di Mbah Geogle, maka akan terhidang banyak data tentang kasus tanah permakaman di seluruh pelosok tanah air. Umumnya selalu melibatkan Pemda, DPRD dan investor. Investornya butuh lahan, Pemda yang mengkomersilkan perizinan, dan DPRD yang mau “uang dengar”. Ketika pembagian rezeki tak merata, maka ada yang “meledakkan” keluar dan jadilah kasus di media masa.
Mengkomersilkan perizinan untuk kepentingan pribadi, me-mark up harga lahan yang mau dibebaskan untuk pemakaman, adalah praktek-praktek sarat korupsi. Tapi para pelakunya sepertinya tidak sadar bahwa pada saatnya nanti juga akan jadi warga kuburan, yang pernah diobyekkannya saat di dunia. Jika menyadari resikonya di “dunia lain”, niscaya mereka yang jadi wakil rakyat atau kepala daerah, tak berani main-main dengan tanah kuburan itu.
Pengomersilan tanah makam ternyata bukan saja di hulu, tapi juga di hilirnya. Di hulu mereka bermain saat pengadaan lahan, di hilir ketika lahan itu sudah difungsikan. Di Jakarta, permainan di hilir ini ternyata boleh dikata paling biadab di sepanjang sejarah. Maka tak mengherankan, di era kepempinan Gubernur Ahok, banyak oknum Dinas Permakaman yang dicopot gara-gara korupsi recehan.
Pernah terjadi di Sudin Pemakaman Jakarta Utara. Kepala Sudin diadili gara-gara main sunat honor tukang gali kuburan. Honor yang hanya Rp 300.000.- perorang itu dengan teganya hanya dibayarkan Rp 200.000,- Hasil dari “tukang sunat” itu terkumpul Rp 610 juta. Separo untuk biaya operasional kantor, separonya lagi dibagi-bagikan kepada seluruh PNS di Sudin Pemakaman setempat. Tega banget itu Kepala Sudin. Apakah tak membayangkan, ketika tukang gali itu harus memeras keringat demi upah tak seberapa, dan mata harus sering kelilipan ketika mengeduk tanah makam itu.
Tak kurang jahatnya adalah ketika pejabat Dinas Permakaman memperlakukan tanah makam seperti kamar hotel. Orang bisa boking makam untuk diri sendiri atau anggota keluarganya bilamana meninggal kelak. Di TPU Pondok Ranggon (Jakarta Timur) misalnya, boking permakam bisa sampai Rp 7,5 juta. Sebelum digunakan, tanah dikemas seperti laiknya makam, lengkap dengan nisan bernama. Untuk membedakannya mana makam asli mana fiktif, cukup ditusuk dengan besi panjang. Makam asli akan tembus ke bawah, makam palsu hanya tembus beberapa senti saja. (Cantrik Metaram).