Mahkamah Bebas Rasuah, kapan?

KETUA Mahkamah Agung petahana Hatta Ali, terpilih kembali untuk masa jabatan 2017 – 2022 setelah meraih 38 suara dari 47 hakim agung yang masing-masing memiliki satu suara.

Pemilihan Ketua MA di Jakarta, Selasa (l4/2) dilangsungkan di penghujung masa tenang di tengah hiruk-pikuk sehari menjelang pilkada serentak 2017, Mahkamah Agung (MA), terkesan tertutup dan mendadak.

Empat puluh tujuh hakim agung akan memilih salah satu dari lima calon ketua MA untuk periode 2017 – 2022 yakni ketua MA petahana, Hatta Ali, Jubir MA Suhadi, Wakil Ketua MA Bidang Yudisial M. Syarifuddin, Hakim Agung Kamar Pidana Andi Samsan Nganro dan Hakim Agung Kamar Tata Usaha Negara Mulih Arto.

Samsan Nganro mempeoleh tujuh suara, sementara Suhadi dan Mulih Arto masingh-masing satu suara.
Pencalonan Hatta Ali sejauh ini menuai penolakan dari kalangan DPR karena selain karena ia akan memasuki masa pensiun pada 2020, kepemimpinan Hatta untuk mereformasi lembaga tinggi negara itu dinilai tidak memenuhi harapan publik.

Lambannya langkah reformasi di tubuh MA tercermin dari banyaknya laporan mayarakat terkait pelanggaran kode etik hakim dan aparat peradilan yang tidak ditidaklanjuti MA, sementara belasan hakim dan aparat peradilan terjerat kasus rasuah.

Dari sekitar 2.400 pengaduan masyarakat terkait pelanggaran kode etik oleh hakim dan aparat peradilan, yang ditidaklanjuti di bawah 100 kasus. Berdasarkan hasil survei, 75 persen anggota masyarakat mempersepsikan citra buruk terhadap hakim dan aparat peradilan, dan delapan dari 10 responden menilai, reformasi institusi peradilan telah gagal.

Kecurigaan bahwa waktu pemilihan ketua MA sengaja dipilih sehari menjelang pesta akbar demokrasi pada pilkada 2017 agar luput dari perhatian publik, antara lain disuarakan oleh peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter dan peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FH UI Ali Reza.

“Pemilihan ketua MA seolah-olah sengaja ditutup-tutupi, “ kata Easter, sedangkan menurut Reza, masyarakat berharap banyak pada ketua baru MA untuk mengubah citra buruk peradilan akibat ulah menyimpang sejumlah aparatnya.

Akil Mochtar
Masih segar dalam ingatan publik, keterlibatan scara sah dan meyakinkan, Ketua MA sebelumnya, Akil Mochtar dalam skandal rasuah puluhan milyar rupiah terkait transaksi sengketa pilkada di sejumlah wilayah yang mengantarkannya menjadi terpidana seumur hidup.

Desakan agar institusi peradilan mereformasi total dirinya juga digaungkan Presiden Jokowi pasca tertangkap tangannya hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar oleh KPK akibat dugaan transaksi perkara uji materi (judicial review) UU No. 41 tentang peternakan dan kesehatan hewan yang ditanganinya.

Kabid Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad berpendapat, ketua MA terpilih harus fokus pada pembinaan hakim dan aparat peradilan yang elama ini menjadi titik kelemahan MA.
Sejumlah rekomendasi KY terkait pelanggaran hakim, ujarnya, tidak ditindak lanjuti MA karena perbedaan pandangan antara MA da KY terkait definisi teknis yudisial.

Namun selain persoalan itu, kalangan luar menilai, egoisme pimpinan dan kelembagaan antara MA dan KY harus disingkirkan oleh ketua terpilih MA nanti agar kedua lembaga peradilan tertinggi itu bahu-membahu dalam pengawasan hakim.

Sedangkan Jubir MA yang juga mencalonkan diri dalam pemilihan ketua MA, Suhadi mengemukakan, terpulang pada ketua terpilih untuk mengakomodasi tuntutan publik untuk mewujudkan institusi MA yang bersih dan bermartabat.

Publik sebenarnya berharap transparansi dalam pemilihan ketua MA dengan melibatkan KY, KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) demi terpilihnya ketua baru yang berani melakukan perombakan total dan membersihkan budaya koruptif yang tumbuh subur di lembaga peradilan.

Kenyamanan banyak orang, agaknya menjadi penghalang bagi perubahan di negeri ini.