Mantra Kelestarian Ekologi demi Merawat Bumi

0
158
Seniman kawasan Candi Borobudur Suitbertus Sarwoko melukis pohon bulu di tepi Sungai Manggis Kelurahan Kedungsari, Kota Magelang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. (Foto: ANTARA/Hari Atmoko)

MAGELANG – Sejumlah warga sekitar Kali Manggis, Kota Magelang, Jawa Tengah, mengerumuni seniman Suitbertus Sarwoko dan Wahudi Magentara, melukis pohon menjulang dengan batang berdiameter lumayan besar di tepi sungai itu.

Oleh warga setempat waktu itu, Rochedi (65), pohon yang dipastikannya berakar kukuh tersebut dikenal dengan nama pohon bulu, sejenis beringin. Tak ada yang tahu kapan pohon itu ditanam, tetapi diperkirakan umurnya jauh lebih tua ketimbang Kali Manggis.

Sungai itu dibangun pada zaman kolonial Belanda sebagai saluran air yang berhulu di Kali Progo, di Badran, Kabupaten Temanggung. Alirannya seakan membelah Kota Magelang dan berakhir di Mertoyudan, Kabupaten Magelang, lalu bermuara di Sungai Progo.

Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang, Bagus Priyana, menyebut pembangunan Kali Manggis setelah Perang Jawa (1825-1830), melalui proyek berkelanjutan pemerintah kolonial Belanda untuk Kota Magelang antara 1857 hingga warsa 1883.

Proyek itu untuk mengatasi kerugian produksi pertanian dan perkebunan akibat perang berkepanjangan Belanda ketika menghadapi Pangeran Diponegoro dan menyikapi perkembangan wilayah setempat.

Ketika Woko-Wahudi, demikian dua pelukis itu biasa disapa, dari atas jembatan kecil sungai itu membuat karya lukisan pohon “Bulu”, hawa makin hangat dengan Matahari bergerak perlahan meninggi dari sisi timur mereka.

Dalam situasi masih dirundung pandemi Covid-19 pada Oktober 2021, mereka melukis sambil duduk bersila di jembatan dengan jarak sekitar 20 meter dari objek karyanya.

Sesekali, sejumlah warga mendekati dua pelukis untuk melihat progres karya mereka. Beberapa lainnya dari tepi sungai seolah terpantik membincangkan pohon berumur tua itu, selagi Woko-Wahudi menggoreskan kuas masing-masing untuk memindahkan pohon ke kertas khusus melukis.

Kedua seniman Magelang itu memang bukan sedang lomba melukis. Dalam rengkuhan asyik masing-masing membuat karya di tengah pandemi, keduanya seolah berbincang-bincang tentang pohon tersebut melalui media masing-masing. Seorang ibu pemilik salah satu rumah di bawah pohon dengan sapu lidinya menyapu jalan depan rumahnya, berlanjut ke sekeliling pohon.

Kisah Rochaedi berdasarkan apa saja yang diketahuinya tentang pohon bulu dan cungkup di bawahnya berisi sejumlah makam, selain bagai timpalan penguat lukisan Woko-Wahudi, juga tali simpul untuk mantra lestari pohon hingga saat ini. Pohon tersebut terjaga karena di bawahnya ada makam.

Pemkot Magelang dalam proyek pengaspalan dan pembangunan lainnya di sempadan Kali Manggis sebelumnya, juga seakan tak mengusik pohon bulu, tetapi makin mempernyaman lokasi setempat yang rindang.

Di cungkup di bawah pohon bulu terdapat keterangan tentang Makam Kyai Djogojudo. Ada lima makam masing-masing berprasasti dengan tulisan huruf Jawa, salah satunya makam sang kiai yang merupakan cikal bakal Kelurahan Kedungsari, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang.

Sambil menyapu cungkup, Rochaedi menunjukkan pula tulisan di dinding bangunan kecil itu bahwa Raden Djogojudo, anak ke-12 di antara 13 anak Raja Majapahit Prabu Brawijaya V. Wikipedia menyebut penguasa terakhir Majapahit itu bergelar Girindrawarddhana dan berkuasa pada 1474-1498.

Sebelum menjadi permukiman warga, masa lalu lingkungan sekitar pohon dengan cungkupnya itu berupa permakaman. Diperkirakan, keberadaan pohon itu pula menjadikan air tanah berlimpah di kawasan setempat.

Lukisan pohon “Bulu” Kedungsari karya Wahudi yang tinggal di salah satu kampung di Kota Magelang diunggah ke akun Facebooknya pada 1 Oktober 2021. Sejumlah komentar datang dari kawan-kawannya. Woko yang tinggal di depan Pintu VII Taman Wisata Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, mengingat peristiwa melukis on the spot (di tempat) itu sekitar setahun kemudian bertepatan dengan Hari Pohon Sedunia yang jatuh setiap 21 November.

Karyanya tentang pohon “Bulu” dikatakan sebagai unik dan memikat karena berupa perindang cukup besar, langka, di tengah permukiman warga tepi sungai. Saat ini, lukisan tersebut dikoleksi seorang koleganya di kawasan Secang, Kabupaten Magelang.

Selain memperindah dan menyejukkan lingkungan sekitar, ia juga mengingatkan pentingnya dukungan untuk melestarikan pohon langka seperti itu. Masa kecil Woko, tinggal di kaki Candi Borobudur dengan lokasi banyak pepohonan Jati, bernama Kampung Jaten.

Woko maupun Wahudi tentu tak hendak melakukan tindakan altruistik sebagaimana dikatakan pengajar  Filsafat Unversitas Katolik Parahyangan Bandung Bambang Sugiharto dalam Buku Kebudayaan dan Kondisi Post-Tradisi, dalam kaitan dengan kepeloporan atas gerakan ekologis.

Namun, jalan kesenimanan mereka sebagai pelukis telah menariknya menjadi bagian pembawa pesan tentang pentingnya manusia dengan peradaban komunitasnya memberi daya hidup aneka tanaman sehingga pohon pun terus dijaga dan dilestarikan bagi kelangsungan ekologi.

Kalau Presiden Joko Widodo mengajak para pemimpin negara G20 mengunjungi Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Kota Denpasar, Bali, dan bersama-sama menanam anakan bakau di lokasi itu, kiranya bukan semata-mata untuk membuat monumen pengingat atas agenda Konferensi Tingkat Tinggi G20 tahun ini.

Akan tetapi, memang hendak ditunjukkan bahwa di berbagai daerah di Indonesia terus digalakkan gerakan menanam pohon, termasuk mangrove, supaya di belahan tempat lain di Bumi ini juga demikian.

Aksi menanam pohon sebagai bagian dari usaha bersama umat manusia mengatasi perubahan iklim global dan membuat mantra kelestarian ekologi serta membangun antisipasi untuk meminimalkan risiko musibah alam.

Masyarakat perdusunan dan warga gunung-gunung melalui pewarisan kalender berbagai rupa tradisi desa, sesungguhnya diakui pula tak lepas dari tindakan riil menyelamatkan lingkungan melalui pelestarian pohon.

Jika warga kawasan Gunung Merbabu di Dusun Warangan dan Gejayan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, secara rutin dalam kalender desa masing-masing merawat mata air melalui tradisi Nyadran Kali dan Sungkem Tlompak, di situlah pepohonan sekitar sumber itu dijaga bersama-sama, agar air tetap memancar dan kawasan tetap alami serta asri.

Dalam masyarakat tradisional lainnya pun kiranya tradisi seperti merti (merawat) dusun bagian dari usaha bersama memberikan perlindungan terhadap kelestarian pohon. Terlebih saat musim hujan, makin disadari tentang pentingnya pohon penjaga lingkungan alam dari bencana.

Bencana hidrometeorologi memang seakan terus terjadi, tetapi menanam pohon jangan pernah lelah atau putus asa, karena di situlah keseimbangan semesta alam dibangun dan dirawat.

Musim hujan pula saat pohon menjalankan proyek besar rutin tahunan dalam penyerapan air sebanyak-banyaknya untuk tanah agar tetap menjadi subur, pancaran air terus berkelimpahan, dan peminimalan bencana sedang terjadi.

Mau tidak mau, memang harus diakui bahwa keberadaan pohon menjadi keniscayaan untuk suatu lingkungan, agar terasa alamiah dan manusia senantiasa dijaga keselamatannya.

Menjaga pepohonan agar terus ada memang butuh mantra buatan manusia, yakni tradisi menanam terus-menerus, menjaganya secara berkelanjutan, dan menebang nirmental tamak.

Sumber: Antara

Advertisement div class="td-visible-desktop">