KEJADIAN sangat mengharukan baru saja terjadi di Pondok Aren, Tangerang. Ny. Puji (44) beberapa hari lalu dilaporkan ke Polsek Pondok Aren gara-gara tertangkap mencuri 3 butir telur di minimarket Jurangmangu Barat. Beruntung Kapolsek Bambang AS berhati tingkat dewa, sehingga Ny. Puji tak sampai diproses, bahkan pulangnya malah diberi sembako. “Kefakiran (kemiskinan) memang bisa menyebabkan kekufuran (kejahatan)” kata Kapolsek Kompol Bambang AS.
Kisah Ny. Puji ini memang kejadian sepele, tetapi sangat menyentuh. Warga Pondok Jati Kelurahan Jurangmangu ini terpaksa mencuri 3 butir telur, agar anak-anaknya bisa makan untuk nyambung umur. Suaminya yang pekerja Gojek, kantongnya dikuras Rp 700.000,- untuk biaya anaknya yang sekolah dari SD hingga SMA, ATM-nya benar-benar minus tanpa saldo. Belum lagi mikir rumah kontrakannya yang secara periodik harus diperpanjang.
Berita ini sempat viral di medsos. Tapi anehnya, warganet hanya sekedar mengklik beritanya, tapi hingga hari ini belum ada beritanya warganet mengklik HP-nya untuk transver pada Ny. Puji yang terpaksa mencuri telur karena dibelit kemiskinan. Padahal biasanya, pada berita beginian banyak yang tersentuh dan kemudian rame-rame buka dompetnya untuk membantu. Atau barangkali “trauma” dengan kasus ACT (Aksi Cepat Tanggap) yang telah dibekukan pemerintah?
Kisah-kisah sepele dadi gawesebetulnya banyak terjadi. Tapi polisinya tak sepeka Kompol Bambang AS dan anak buahnya, Bhabinkamtibmas Aiptu Samsul Hairudin. Ketika pihak minimarket melaporkan Ny. Puji dengan barang bukti tiga butir telor, kedua hamba wet itu sangat terharu. Karena mereka punya kepekaan sosial yang tinggi. Kompol Bambang AS meminta dengan hormat pihak minimarket untuk tidak memperpanjang masalah. Dan semua telur yang diambil Ny. Puji dibayar oleh Kapolsek.
Bukan itu saja. Ny. Puji juga dibelikan sembakau sekalian. Tentu saja ibu 3 anak ini jadi terharu sekali atas kebaikan pak polisi. Dia pun berjanji, tidak akan mengulang lagi perbuatannya tersebut, meski itu dilakukan karena terpaksa saja. Kita semua bisa membayangkan. Ketika Ny. Puji di rumah memasak sembako dari para polisi budiman, pastilah sambil berurai air mata.
Kepekaaan sosial Kompol Bambang AS dan Aiptu Samsul Hairudin mengingatkan pada kisah khalifah Umar bin Khatab. Malam-malam Umar blusukan ke rumah penduduk dan menemukan seorang ibu sedang memasak. Ditanya masak apa, dijawab masak batu! “Ini sekedar untuk menghibur anakku yang kelaparan.” Khalifah Umar pun mengeceknya, memang benar yang ada dalam kuali itu hanyalah sebongkah batu. Kapan matengnya, dan apa pula lauknya? Buruan Umar bin Khatab pergi dan kembalinya sudah memanggul sendiri bahan makanan untuk diserahkan kepada ibu malang tersebut.
Pembaca mungkin masih ingat kejadian tahun 2009 sekitar 14 tahun lalu, ketika polisi dapat laporan bahwa Mbah Minah (55) dari Banyumas memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT RSA. Petugas Polsek Ajibarang memang tak sepeka polisi di Polsek Pondok Aren. Mbah Minah diproses hukum dan diadili di PN Banyumas Nopember 2009 dengan vonis 1,5 bulan penjara masa percobaan 3 bulan.
Andaikan saat itu pihak Polsek Ajibarang memiliki kepekaan sosial macam Kompol Bambang AS dan Aiptu Samsul Hairudin, niscaya Mbah Minah takkan sampai di BAP. Memang si nenek pada di Pengadilan hanya dihukum percobaan alias tak menjalani hukuman, tetapi orang desa berurusan dengan polisi pastilah stress berminggu-minggu. Makan sroto nggak enak, macit gethuk goreng Sokaraja juga serasa sekam.
Boleh saja polisi beralasan hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Tapi jika masalah begitu receh ditelateni juga, polisi bisa kehabisan waktu memproses hal-hal yang kecil-kecil tersebut. Maka tak mengherankan, hingga sekarang pemeo hukum kita tumpul ke atas dan tajam ke bawah belum juga hilang. Bahkan di era Presiden Jokowi ini soal infrastruktur memang peng-pengan (hebat), tetapi soal penegakan hukum masih lemah. Sampai-sampai KPK pun “dinegrikan”, macam sekolahan saja.
Berapa banyak terpidana mati yang sampai sekarang tak kunjung dieksekusi. Polisi yang dikenal sebagai hamba wet, banyak oknumnya yang malah menghamba pada duwit. Ketika kasus Ferdy Sambo terungkap nyata, begitu juga Tedy Minahasa; menjadi sia-sia saja Kapolri menggelar “Hugeng Award” setiap tahunnya. KPK setelah “dinegrikan” juga menjadi mlempem, sehingga Kejaksaan Agung ikut membantunya.
Mahkamah Agung yang menjadi pintu terakhir keadilan, dua Hakim Agungnya (Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh) terjerat hukum sendiri. Sepeninggal Hakim Agung Artidjo Alkostar, MA sering obral diskon hukuman. Bahkan Sekretaris MA-nya pun dari Nurhadi ke Hasbi Hasan, sama-sama terkena kasus suap. Bagaimana tiang keadilan bisa tegak jika penegak hukumnya malah banyak yang jadi rayap.
Untuk penegakan hukum mestinya para terpidana mati segera dieksekusi, sehingga negara tak perlu kasih makan gratis bertahun-tahun macam janji Capres Prabowo. Dalam kasus korupsi Mensos Yuliari Batubara misalnya, jika mengacu kasus Mbah Minah dari Banyumas, dia bisa kena hukuman sampai ribuan tahun, bukan hanya 12 tahun. Hitung-hitungannya adalah: jika mencuri kakao seharga Rp 30.000,- dihukum 1 bulan, mestinya Budiari yang korupsi Rp 32 miliar kena 88.888 tahun. Sampai jadi fosil pun hukuman Juliari belum habis. (Cantrik Metaram)