OPERASI pencarian KM Sinar Bangun yang tenggelam di perairan Danau Toba 18 Juni lalu masih berlangsung, dan sampai berita ini diturunkan, titik lokasi keberadaan bangkai kapal nahas itu bersama sekitar 200 penumpangnya masih belum ditemukan.
Walau agaknya sudah tertutup kemungkinan korban ditemukan dalam keadaan hidup, penemuan jasad korban paling tidak bisa menjadi pelipur lara bagi sanak-keluarga yang ditinggalkan.
Operasi pencarian terdiri dari beberapa kapal Basarnas, Polri dan dan TNI-AL dengan mengerahkan 350 personil termasuk penyelam dari pasukan katak, satuan Intai Amphibi dan Denjaka Marinir sejauh ini juga belum membuahkan hasil, mengingat kedalaman Danau Toba yang diperkirakan sampai 600 meter.
Penyelam hanya mampu menyelam sampai kedalaman 30 meter, sementara alat pendeteksi benda di bawah air (remotely operated vehicle-ROV) yang diturunkan juga belum bisa menemukan keberadaan kapal nahas itu karena hanya mampu mendeteksi di kedalaman maksimum 50 meter.
Alat lainnya yang dicoba didatangkan, multi beam side-scan sonar milik Pusat Oceanografi TNI-AL yang menurut Kabasarnas M. Syaugi awalnya berfungsi cukup baik ternyata juga tidak mampu mendeteksi benda-benda pada kedalaman di atas 500 meter di bawah permukaan air.
Upaya berikutnya, adalah mendatangkan multibeam echo sounder (MES) milik kapal Basarnas di Tg. Pinang yang mampu mendeteksi benda di kedalaman sampai 2.000 meter. Saat berita ini diturunkan, peralatan MES masih dipasang di atas kapal feri KM Dosroha yang ikut dalam operasi pencarian.
Dari sisi peralatan saja, tampak bahwa Indonesia memang belum siap menghadapi bencana di perairan dan laut yang memerlukan peralatan canggih dan juga mahal tentunya.
Mahal,karena beteknologi canggih
Pencarian dan penyelamatan bencana di bawah air memang mahal dan memerlukan teknologi canggih, contohnya, Rusia mengeluarkan dana sekitar 100 juta dollar AS (sekitar Rp1,4 triliun) untuk mengangkat bangkai kapal selam nuklirnya, Kursk yang tenggelam di Laut Barents pada 12 Agustus 2000 bersama 118 awaknya.
Operasi pengangkatan bangkai Kursk bekerjasama dengan Norwegia diputuskan oleh Presiden Vladimir Putin di bawah tekanan para ibu-ibu awak kapal selam nahas itu yang bersikeras menginginkan jasad anak-anak mereka diangkat dari dasar laut untuk dikebumikan dengan layak.
Para penyelam Norwegia dan Rusia melubangi haluan kapal selam yang tenggelam akibat ledakan yang membuat dua lubang besar dan menyeret kapal berbobot 24-ribu Ton itu ke dasar Laut Barents yang rata-rata berkedalaman 229 meter.
Setelah aman dari kemungkinan terpapar radiasi nuklir, para penyelam mengangkuti jasad awak kapal dengan kapal selam mini yang telah disiapkan di samping lokasi, sedangkan badan kapal selam diapungkan dengan balon-balon raksasa ke atas permukaan laut. Operasi tersebut dilakukan setahun lebih setelah kejadian (26 Sept. 2001)
Walau jauh lebih sederhana dan juga tidak ada paparan radiasi nuklir, pengangkatan bangkai KM Sinar Bangun yang terbuat dari kayu itu tentu juga terlalu mahal jika mendatangkan teknologi dan SDM seperti yang digunakan untuk mengangkat Kursk.
Sedangkan menurut Kabasarnas M. Syaugi, bangkai KM Sinar Bangun bisa ditarik ke atas dengan tali baja. Namun pertanyannya, jika bangkai kapal itu berada di dasar danau di kedalaman 500 meter, tentu dibutuhkan rentang tali baja minimal sepanjang itu.
Selain itu, dibutuhkan pula penyelam dengan peralatan yang mampu membawa mereka sampai kedalaman 500 meter dan untuk mengikatkan tali baja ke badan kapal, perlu pula peralatan khusus, kemudian pada saat ditarik ke atas, apa badan kapal terbuat dari kayu itu masih utuh sehingga muatannya (terutama jasad korban) tidak tumpah karena tekanan air di kedalaman tersebut tentu sangat kuat.
Di luar rumitnya pengangkatan bangkai kapal, Indonesia sebagai negara maritim yang sebagian besar wilayahnya berupa perairan laut, juga sungai dan danau perlu melakukan mitigasi keselamatan pelayaran jika tidak ingin bencana seperti dialami KM Sinar Bangun terulang lagi.
Apa yang sudah dilakukan aparat-aparat instansi yang berwenang, baik di pusat atau pun daerah sebagai regulator yang bertanggungjawab mengawasi kelaikan kapal, alat-alat keselamatan, kesahbandaran atau Unit Pelaksana Teknis, begitu pula pada operator atau pemilik kapal?
Selain tindakan mitigasi dan pembenahan menyeluruh, sanksi dan tindakan tegas harus dikenakan terhadap aparat terkait yang abai dan tidak bertanggungjawab.