TARGET pertumbuhan ekonomi delapan persen yang dicanangkan pemerintah Presiden Prabowo Subianto pada 2025 terkesan ambisius karena Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan jauh di bawahnya.
Proyeksi terbaru ADB yang dirilis di “Outlook Desember 2024 menyebutkan pertumbuhan ekonomi RI pada 2025 di kisaran lima persen atau proyeksi tersebut tidak berubah dari angka konservatif yang dipatoknya sejak 2023.
Sejumlah lembaga juga memasang angka lima persen untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 mengacu pada faktor eksternal berupa tekanan global yag makin deras dan di dalam negeri tren pelemahan kelas menengah untuk bisa memacu pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi.
Selain ADB, Bank Dunia (WB) dan Dana Moneter Iternasional (IMF) juga mmeperkirakan, ekonomi Indonesia akan tumbuh stagnan di tingkat 5,1 persen, bahkan IMF memperkirakan, ekonomi Indonesia tetap stagnan sampai 2029.
Sedangkan faktor yang membuat ekonomi Indonsia stagnan pada 2025, menurut ADB antara lain ancaman risiko eksternal yakni meningkatnya tensi geopolitik (Perang di Ukraina, kemungkinan perang terbuka Iran vs Israel dan pergantian kekuasaan di Suriah), fragmentasi perdagangan global serta dinamika poliyik di AS pasca terpilhnya Donald Trump.
“Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia, adalah lingkungan global, apalagi seperti sejumlah negara lainnya, RI sangat mudah terdampak oleh kebijakan ekonomi AS, “ kata Direktur ADB untuk Indonesia Jiro Tominaga dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (12/12).
Risiko eksternal
Rsiko eksternal yang dapat mengancam ekonomi makro Indonesia, menurut Tominaga, yakni potensi kebijakan suku bunga tinggi di AS yang bakal berlanjut lebih lama dari yang diperkirakan setelah Trump terpilih sebagai presiden AS.
“Muncul ketidakpastian arah kebijakan yang bisa mempengaruhi iklim perdagangan dan keuangan di negara-negara berkembang, “ tuturnya.
Malangnya, di Indonesia pda saat kondisi eksternal dibayangi ketidakpastian, mesin ekonomi domestik seharusnya menjadi andalan, namun tren pelemahan kelas menengah di Indonesia membawa risiko besar yang bisa menghambat pertumbuhan ekonomi.
Mengutip data dari BPS, jumlah kelas ekonomi menengah Indonesia yang pada 2019 masih 57,33 juta orang, turun 9,06 juta jiwa atau 18,8 persen pada 2023 menjadi 48,27 juta orang.
Seperti disampaikan oleh Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan BRIN Zamroni Salim, tren pelemahan kelas ekonomi memengah Indonesia tidak bisa dianggap sepele karena kelompok tersebut menopang ekonomi Indonesia dari sisi konsumsi dan produksi.
Berbagai upaya harus dilakukan oleh pemerintah Prabowo seperto mendorong industri manufaktur dan memperluas hilirisasi terhadap berbagai komoditas sumberdaya alam dan juga menjaga agar konsumsi rumah tangga terjaga pada rentang antara lima sampai enam persen, investasi dan ekspor tumbuh 10 dan sembilan persen.
Seabrek “PR” harus dikerjakan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi delapan persen. Ayo semangat!