
JAKARTA – Menurut Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik tahun 2010, Indonesia memiliki sekitar 1.331 kelompok suku bangsa yang masing-masing menciptakan kebudayaannya. Salah satunya adalah masyarakat Badui, suku yang tinggal di Pegunungan Kendeng, Kabupaten Lebak, Banten.
Mereka mendiami area seluas 5.101,85 hektare yang terdiri dari 59 kampung dan memiliki ladang, perkebunan, pertanian, permukiman, dan kawasan hutan lindung. Terdapat dua kelompok masyarakat Badui, yaitu Badui Tangtu atau Badui Dalam yang tinggal di daerah selatan dan Badui Luar atau Badui Panamping yang tinggal di daerah utara dari Badui Dalam.
Jumlah penduduk Badui mencapai 26 ribu orang dan memiliki tradisi unik yang tidak dimiliki oleh suku bangsa lainnya. Mereka melaksanakan tradisi penyucian diri setiap tahun kepada Tuhan Yang Mahaesa yang dikenal dengan Kawalu, dan hal ini merupakan bagian dari kepercayaan Sunda Wiwitan.
Desa Kanekes adalah lokasi administratif masyarakat Badui dan berjarak sekitar 160 kilometer dari Jakarta atau sekitar 78 kilometer dari Kota Serang, ibu kota Provinsi Banten. Dari pusat kota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, jarak ke Kanekes sekitar 50 kilometer atau lebih dekat lagi jika dari Kecamatan Leuwidamar, yaitu sekitar 27 kilometer.
Adat ritual Kawalu di Badui Dalam berlangsung selama tiga bulan dan selama itu kampung mereka ditutup untuk pengunjung, termasuk wisatawan domestik dan mancanegara. Kawasan asri Desa Kanekes yang menjadi objek wisata andalan Banten bagi para wisatawan dengan minat khusus pada budaya dan lingkungan hidup, baik Badui Dalam maupun Badui Luar.
Tertutupnya kawasan Badui Dalam selama ritual Kawalu dilakukan agar masyarakat Badui Dalam dapat menjalankan ritual Kawalu dengan tenang dan damai. Ritual ini dilaksanakan selama tiga bulan, mulai dari 24 Januari hingga 24 April 2023. Keputusan waktu pelaksanaan ini diambil oleh pemimpin adat dan tokoh masyarakat Badui Dalam setelah menyelesaikan puasa hari ke-18 dan upacara selamatan.
Kawalu berasal dari kata “walu” yang berarti pulang, dan upacara ini dilakukan sebagai sesajen pemujaan kepada para leluhur dengan membakar dupa. Ritual Kawalu adalah salah satu dari empat tahap dalam perayaan kepercayaan masyarakat Badui Dalam, yaitu Ngalanjakan, Kawalu, Ngalaksa, dan Seba.
Bentuk Syukur
Menurut Jaro Saija, Kepala Desa Kanekes sekaligus pemimpin adat Badui, ritual Kawalu merupakan cara masyarakat Badui untuk mengekspresikan rasa syukur kepada Sang Hyang Karesa atas hasil alam yang diberikan. Masyarakat Badui Dalam dan Badui Luar dikenal dengan hasil pertanian dan perkebunan seperti padi huma, jagung, pisang, sayur mayur, dan cabai.
Oleh karena itu, tradisi Kawalu diadakan setelah masa panen selesai dilaksanakan. Ritual puasa dimulai pada tanggal 17 bulan Kasa, dan berakhir pada jam 17.00 WIB keesokan harinya, dan dilakukan pada bulan Kasa, Karo, dan Katilu dalam penanggalan orang Badui. Selama berpuasa, mereka dilarang makan dan minum hingga waktu berbuka. Tujuan dari Kawalu adalah untuk membersihkan diri dari nafsu jahat.
Setiap tanggal 15 bulan Kasa, sebelum memulai puasa, seluruh warga Badui Dalam diwajibkan membersihkan lingkungan dan dilarang mengonsumsi atau mengolah hasil panen. Mereka hanya diperbolehkan menggiling padi dengan cara tradisional yang disebut “nutu”.
Jaro Saija menyatakan bahwa tradisi Kawalu sudah berlangsung selama ratusan tahun dan harus diikuti oleh seluruh orang Badui Dalam, termasuk laki-laki dan perempuan, tua dan muda. Orang yang lanjut usia dengan keterbatasan fisik atau perempuan yang sedang menstruasi tidak diwajibkan berpuasa.
Namun, jika ada orang Badui Dalam yang melanggar kecuali beberapa yang tidak diwajibkan, maka akan diberikan sanksi adat atau “kabendon”. Jaro Saija berharap bahwa dengan melaksanakan Kawalu, masyarakat Badui Dalam akan sejahtera, damai, dan sehat selalu.
“Dengan pelaksanaan Kawalu, kami berharap masyarakat Badui sejahtera, damai, dan sehat selalu,” ucap Jaro Saija, dilansir dari indonesia.go.id.
Ayah Mursid, seorang tokoh masyarakat Badui Dalam, mengungkapkan bahwa selama periode Kawalu, masyarakat dilarang mengadakan pesta pernikahan dan sunatan agar tidak menimbulkan keramaian. Walaupun masyarakat Badui Dalam bersifat tertutup, mereka masih mengizinkan pejabat pemerintah untuk masuk ke wilayah mereka dengan jumlah terbatas hingga lima orang.
Setiap kepala kampung atau puun diwajibkan memimpin tradisi Kawalu di wilayahnya dengan bantuan para Jaro Tujuh dan Baresan Palawari sebagai panitia pelaksana. Setelah menjalani ritual Kawalu, mereka melaksanakan Seba dan berkumpul untuk menemui Ibu Gede dan Bapak Gede, yaitu Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya dan Penjabat Gubernur Banten Al Muktabar.
Para tokoh masyarakat Badui Dalam membawa hasil pertanian seperti beras, pisang, gula aren, dan sayuran sebagai hadiah kepada kedua pejabat tersebut. Perjalanan mereka dari Desa Kanekes menuju pusat kota Rangkasbitung dan Serang yang total mencapai 160 km pergi-pulang, selalu dilakukan dengan berjalan kaki, seiring dengan larangan para leluhur mereka untuk menggunakan kendaraan dalam perjalanan apapun.