Menjemput Mentari

Saudaraku, banyak orang mengutuk kegelapan. Tak menyadari, perlu waktu bagi mentari terbit bersinar, sedang mereka sendiri menutup jendela rumahnya saat fajar menyingsing.

Bila ruang jiwamu cukup lapang,
gelap menjadi waktu yang menggetarkan.
Seperti detik-detik seorang kekasih,
yang menanti langkah kaki di kejauhan.

Dalam debaran yang halus,
kau rapikan rumahmu.
Kau tata halaman.
Kau buka lebar pintu dan jendela.
Kau matangkan hidangan di meja.
Kau patutkan diri di depan cermin,
berulang kali.
Sebab setiap detik terasa sakral,
seperti napas terakhir sebelum perjumpaan.

Lalu mentari terbit.
Tidak dengan hiruk pikuk,
melainkan dengan tenang,
dengan sabar,
menggenangi langit dari ujung ke ujung.

Sebanyak ruang yang kau buka,
sebanyak itu pula cahayanya mengalir ke dalam hidupmu.

Maka berhentilah menangisi gelap.
Karena di balik langit kelam,
bintang-bintang tetap bertabur.
Rembulan tetap mengapung.
Dan di bawah sinar terang pun,
mereka yang menutup mata tetap hidup dalam malam.

Tatalah rumah jiwamu.
Lapangkanlah jendelanya.
Karena malam tahu kapan mesti pergi,
dan fajar tahu kapan mesti tiba.

Bila ruangmu cukup luas,
kau akan temukan jalan bangkit,
jalan yang sunyi,
jalan yang disinari.

Namun bila hatimu mengatup rapat,
bahkan mentari yang lahir pun akan terasa seperti kegelapan baru.

Bangunlah, saudaraku.
Bukalah jendela jiwamu.
Biarkan cahaya masuk,
merayapi sudut-sudut tersembunyi,
mengusir dingin,
membangunkan manusia dalam dirimu yang lama tertidur.

Advertisement div class="td-visible-desktop">

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here