Menteri Agraria Diancam

0
244
Penyakit lama di BPN, tanpa pelicin mengurus sertifikat bisa dibikin lama.

AGAKNYA mengancam menteri itu hak prerogratif Presiden. Maka ketika membagikan 1.989 sertipikat tanah di Cirebon Jawa Barat, dengan tegas Presiden Jokowi “mengancam”, “Jika Menteri Agraria/BPN tak mampu selesaikan 5 juta sertipikat dalam setahun, tahu sendiri.” Nah, rakyat Indonesia ingin melihat, seperti apa nasib Menteri Sofyan Djalil jika gara-gara sertipikat terpaksa dipecat.

Akankah Sofyan Djalil bernasib seperti menteri pendahulunya, Ferry Mursyidan Baldan yang harus kembali ke partai induknya, Nasdem? Semoga saja tidak, karena hingga saat ini Jokowi belum punya dalil untuk memecat Djalil. Untuk Jawa Barat saja, dari target 500.000 sertifikat, sudah terwujud 1.989 di wilayah Cirebon, Bandung dan sekitarnya 1.103, Kabupaten Cianjur 125, Kabupaten Sukabumi 120, Kota Sukabumi 75, Garut 175, Purwakarta 280, dan Sumedang 110 sertifikat.

Sertipikat tanah itu menjadi begitu penting, karena manusia Indonesia sudah akrab dengan budaya utang. Padahal utang lewat bank, jika tak ada sertifikat tanah, mana permohonan pinjaman itu dikabulkan. Paling-paling larinya kemudian ke rentenir.            Orang-orang kampung/desa yang tidak pernah terlibat utang-piutang dengan bank, memang jarang peduli pada sertipikat. Mereka dulu memiliki pethuk (surat girik leter C) sudah merasa tenang.

Sebetulnya bukan sekarang saja rakyat diminta mengurus sertifikat tanahnya. Dari jaman Orde Lama, Orde Baru, era reformasi; imbauan itu sudah ada. Tapi karena dari dulu pelayanan sertifikat itu berbelit-belit dan lama, rakyat jadi males mengurusnya. Jika mau cepat, harus rajin memberi uang pelicin pada petugasnya. Jumlah itu bukan sekedarnya, tapi sering juga ditentukan oleh mereka.

Ada juga prosedur tumpang tindih yang menjadikan urusan sertifikat bertele-tele. Meski sudah ada Surat Ukur dari Dinas Tata Kota, jika mau disertifikatkan harus diukur ulang oleh pihak BPN, itu artinya kan tambahan duit. Tambah rewel lagi, mau pecah sertifikat misalnya. Meski yang diurus hanya secuil barang 200 M2, harus diukur ulang seluruh luas tanah sertifikat induknya. Jika luas tanahnya 1 hektar, ya harus bayar 10.000 kali sekian rupiah tarif permeternya.

Paling menjengkelkan adalah, pemohon sertifikat jadi sapi perahan setiap Pemda. Mereka –penjual maupun pembeli– harus bayar BPHTB (Biaya Perolehan Hak Tanah dan Bangunan) sebesar 5 % dari harga tanah yang riel (apraisal). Di Jakarta misalnya, tanah hanya seluas 90 M2, bisa kena gorok Rp 17 juta. Ini yang bikin orang jadi takut mengurus sertipikat tanah.

Untung di DKI ada diskresi dari Gubernur. Pengurusan sertifikat tanah seharga Rp 2 miliar ke bawah, bebas BPHTB. Tapi daerah lain, para bupati dan walikota mencak-mencak ketika BPHTB itu harus dihapus, karena akan  mengurangi PAD (Pendapatan Asli Daerah). Ini kan sudah mirip jaman Belanda dulu, rakyat diperes oleh pemerintahnya sendiri.

Begitulah, orang mengurus sertifikat selalu dihantui biaya, baik yang resmi maupun siluman. Meski di setiap sudut ruangan para pejabat Dinas BPN ada tulisan “Daerah Bebas Gratifikasi”, tetap saja mereka berharap ada “pengertian” dari pemohon. Ada memang pejabat yang mau meneken langsung, tapi ada pula yang suruh nunggu seminggu, karena mereka sebetulnya berharap uang “pengertian” itu. Apa lagi bila pemohon lewat perantara, oknum-oknum BPN berani minta terus terang. Pendek kata, mereka sengaja membuat berlama-lama karena berharap pelicin.

Karena ulah oknum-oknum BPN inilah rakyat jadi males membuat sertifikat. Tak mengherankan, dari 126 juta bidang tanah di Indonesia, baru sekitar 40 persen atau 46 juta tanah yang memiliki sertifikat. Untuk menggenjot sertifikasi, kini tiap tahun Menteri Sofyan Djalil selalu kena target yang terus meningkat, dari 5 juta, 7 juta sampai 9 juta pertahun nantinya. Selamat gempor deh. (Cantrik Metaram)

Advertisement div class="td-visible-desktop">