Menyelamatkan Tuntong Laut dari Kepunahan

0
179
Tuntong laut (Batagur borneoensis). (Foto: Istimewa)

JAKARTA – Nama hewan reptil ini mungkin masih terdengar asing bagi banyak orang. Tuntong laut (Batagur borneoensis) adalah salah satu dari 29 spesies kura-kura air tawar dan darat yang ada di Indonesia. Hewan ini lebih banyak menghuni wilayah air payau, seperti muara sungai, anak sungai, hutan bakau, dan daerah yang terpengaruh oleh pasang surut laut.

Daerah penyebarannya meliputi Pulau Sumatra, Kalimantan, serta sebagian kecil wilayah di Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam. Hewan ini memiliki beberapa nama lain, contohnya di Sumatra disebut sebagai beluku, sementara di Kalimantan dikenal dengan nama tum-tum.

Reptil bertempurung keras ini juga sering dikenal sebagai tuntung atau tuntong semangka, karena bagian punggung tempurungnya memiliki warna gading atau cokelat muda kehijauan yang menyerupai buah semangka.

Ketika masih berusia di bawah enam bulan, tempurungnya memiliki tiga lapisan. Namun, seiring pertumbuhannya, jumlah lapisan ini akan menyatu menjadi satu. Berbeda dengan kura-kura darat yang memiliki tempurung berbentuk kubah dan berat, tempurung tuntong lebih datar dan ringan.

Keberadaan rongga kosong di antara tulang-tulang tempurung, yang disebut fontanelles, menjadikan reptil ini mampu berenang dengan cepat dan mengapung di permukaan air. Meskipun sebagian besar waktu mereka dihabiskan di atas air, pada pagi atau sore hari mereka naik ke darat untuk berjemur.

Tuntong memiliki persamaan dengan kura-kura darat dalam hal memiliki lapisan sisik keras yang terbuat dari keratin yang disebut scute, untuk memperkuat tempurung mereka. Mereka juga pemakan tumbuhan dan gemar mengonsumsi buah dan sayuran. Namun, dalam beberapa kasus, mereka bahkan mengonsumsi limbah plastik di air karena keliru menganggapnya sebagai makanan.

Panjang tubuh tuntong berkisar antara 60 hingga 100 sentimeter, dengan lebar karapas sekitar 30 hingga 40 cm. Umumnya, ukuran tubuh tuntong betina lebih besar daripada pejantan. Mereka memiliki rahang atas yang bergerigi dan lima kuku tajam pada kaki depan serta empat kuku pada kaki belakang.

Warna kepala tuntong umumnya cokelat keabu-abuan dengan garis merah mencolok di bagian jidat, di antara mata-mata mereka. Inilah sebabnya hewan ini kadang disebut “si Jidat Merah”.

Selama musim kawin, terjadi perbedaan antara pejantan dan betina. Pada waktu tersebut, leher hingga kepala pejantan tuntong berubah warna menjadi putih keabu-abuan dengan bintik hitam dan tentu saja garis merah di jidatnya. Pada musim ini, mereka bermigrasi, dan betina tuntong mampu menghasilkan 12 hingga 24 butir telur.

Namun, keunikannya ini juga mengundang perburuan massal, baik untuk dijual maupun untuk dijadikan koleksi oleh para penggemar reptil dari seluruh dunia. Bahkan, tuntong dapat ditemukan secara terbuka di pasar online dengan harga antara Rp4 juta hingga Rp10 juta untuk tuntong muda hingga dewasa. Kondisi ini telah membuat populasi tuntong semakin sulit ditemui di habitat aslinya di wilayah pesisir.

Ancaman Kepunahan

Perubahan penggunaan lahan di kawasan pesisir dan hutan mangrove juga berkontribusi terhadap penurunan populasi tuntong. Situasi ini semakin memburuk karena perubahan iklim yang ekstrem, menyebabkan tingkat kegagalan penetasan telur tuntong menjadi tinggi.

Saat bertelur, tuntong menggali lubang di pasir pantai secepat mungkin dan menutupinya. Proses penetasan telur ini sangat tergantung pada suhu matahari, berkisar antara 16 hingga 32 derajat Celcius.

“Suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan telur kehilangan air dan tidak menetas,” kata Amalia Rezeki, seorang peneliti biodiversitas dari Universitas Lambung Mangkurat.

Di Aceh Tamiang, di mana tuntong hidup, telur-telurnya diambil oleh penduduk setempat untuk dijadikan bahan masakan bernama tengulik. Anak tuntong (tukik) juga sering diburu oleh penduduk. Padahal, diperlukan waktu hingga delapan tahun agar tukik menjadi tuntong dewasa dan siap berkembang biak.

Akibatnya, tuntong termasuk dalam 25 spesies kura-kura paling langka di dunia menurut Wildlife Conservation Society dan Turtle Conservation Coalition. Organisasi lain seperti Tortoise and Freshwater Turtle Specialist Group International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) juga mengakui hal ini.

IUCN telah memasukkan tuntong dalam kategori “Kritis” (Critically Endangered/CR) dalam “Daftar Merah”, menunjukkan bahwa reptil ini berada pada ambang kepunahan.

Pemerintah juga tidak tinggal diam, dan tuntong dilindungi oleh undang-undang seperti Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan UU nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Bahkan, sejak jauh sebelumnya, dalam Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, tuntong telah dimasukkan dalam daftar hewan yang dilindungi, khususnya dalam kategori reptil.

Tuntong juga termasuk dalam daftar spesies prioritas nasional untuk kategori reptil dan amfibi di Indonesia, yang diatur oleh Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018.

Konservasi dan Penyelamatan

Usaha pelestarian juga telah dilakukan di beberapa wilayah. Sebagai contoh, di Kabupaten Aceh Tamiang, Daerah Istimewa Aceh, terdapat individu bernama Joko Guntoro yang bekerja sama dengan Yayasan Satucita Lestari Indonesia untuk melestarikan tuntong sejak tahun 2011. Mereka mendirikan pusat konservasi di pantai Aceh Tamiang, tempat tinggal asli tuntong di Sumatra yang masih ada.

Bersama dengan beberapa relawan Patroli Tuntong, beberapa di antaranya dulunya adalah pemburu telur dan anak tuntong, mereka secara bergantian mengamati proses bertelur dari reptil yang unik ini. Kemudian, telur-telur tersebut dipindahkan ke 58 kandang khusus (ex situ) dan berhasil menetaskan hampir 700 anak tuntong.

“Tukik akan dilepas ke habitat alaminya (in situ) setelah mencapai usia tiga bulan yang kritis,” kata Joko.

Usaha ini berhasil meningkatkan jumlah populasi tuntong di Aceh Tamiang hingga 70 persen dalam tiga tahun. Berkat usahanya ini, Joko, yang merupakan alumni Universitas Gadjah Mada, mendapatkan donasi dari skala internasional, termasuk Presiden Uni Emirat Arab Mohammed Bin Zayed dan Kebun Binatang Chester di London, pada tahun 2016.

Pada 2017, PT Pertamina EP Field Rantau juga ikut serta dalam mendirikan Rumah Informasi Tuntong Laut di Pusung Kapal, Aceh Tamiang. Di area seluas 143,6 meter persegi ini, dibangun pusat informasi yang memberikan perkembangan terbaru dalam pelestarian hewan yang telah menjadi simbol Aceh Tamiang.

Pihak Pertamina EP, dalam pernyataan pers mereka saat itu, menjelaskan bahwa pendirian pusat informasi ini merupakan langkah untuk menjaga spesies tuntong laut. Langkah ini juga termasuk dalam program kelestarian dan perlindungan keanekaragaman hayati.

Joko dan YSCLI pernah diakui sebagai Pahlawan Konservasi Disney yang dianugerahkan oleh The Walt Disney Company pada November 2016. Kemudian, pada Desember 2017, mereka diakui sebagai Pahlawan Lokal Pertamina dalam Kategori Hijau serta mendapat nominasi Kalpataru 2016 dalam Kategori Penyelamat Lingkungan.

Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang juga mengeluarkan Qanun nomor 3 tahun 2016 mengenai Perlindungan Spesies Tuntong Laut. Semoga upaya-upaya ini akan berhasil meningkatkan jumlah populasi tuntong dan melindunginya dari risiko kepunahan akibat kerusakan ekosistem, perburuan ilegal, dan faktor alam.

Sumber: indonesia.go.id

Advertisement div class="td-visible-desktop">