GELIAT reformasi yang mulai terasa di panggung politik Myanmar agaknya masih perlu waktu lebih panjang lagi karena penolakan para elite di negeri seribu pagoda itu mengurangi supremasi militer.
Situasi itu agaknya mirip dengan era Orba tempo doeloe di Indonesia dimana militer mendominasi jabatan strategis dan kepala daerah, juga di parlemen yang memiliki fraksi sendiri (F-ABRI).
Di Myanmar, niat Partai Liga Nasional (NLI) pimpinan penyandang hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi untuk mengurangi jatah 25 persen wakil tentara di parlemen (total 664 kursi) belum kesampaian.
Upaya 404 anggota parlemen untuk mengamendemen konstitusi Myanmar terkait pengurangan cengkeraman militer di parlemen, kandas karena tidak memenuhi persyaratan minimal yang diperlukan (tiga perempat atau 455 anggota).
NLD yang menang dalam pemilu legislatif 2015 menguasai 360 dari 664 kursi di parlemen (135 di Majelis tinggi dan 225 di Majelis Rendah), sedangkan fraksi militer, sesuai konstitusi Myanmar, mendapat jatah 56 kursi di Majelis Tinggi dan 110 di Majelis Rendah.
Pasal yang gagal diamendmen a.l. pengurangan jumlah fraksi militer di parlemen, penyebutan panglima tentara sebagai panglima tertinggi untuk seluruh angkatan dan penghapusan kata “disiplin” dari frasa “sistem Demokrasi multi parta yang murni dan disiplin”.
Kabar bagi Suu Kyi yang saat ini menjabat penasehat negara juga buruk karena karena ia otomatis terganjal untuk mencalonkan diri sebagai presiden karena ada pasal yang mengatur persyaratan tentang kewarganegaran keluarga capres, padahal suami (almarhum) dan kedua anaknya berkewarganegaraan Inggeris.
Usulan amandmen juga pernah diajukan pada 2015 namun kala itu juga gagal karena hanya didukung 338 anggota parlemen masih jauh di bawah batas minimal dukungan yang diperlukan.
Aksi persekusi terhadap etnis minoritas muslim Rohingya di negera bagian Rakhine dan peran militer di panggung politik Myanmar merupakan isu yang sering disoroti asing terhadap rezim Myanmar.
Myanmar diajukan ke Mahkamah Internasional di Den Haag untuk mempertanggungjawabkan aksi genosida bertahun-tahun yang dilancarkan terhadap etnis Rohingya, namun Suu Kyi yang mewakili pemerintah menampik tuduhan itu.
“Operasi militer yang dilancarkan di negara Rakhine sah, dan ditujukan untuk memerang pemberontak Arakan“ ujarnya. Arakan Rohingya Salvation Arny (ARSA) adalah sayap militer yang memperjuangkan kepentingan etnis Rohingya.
Demokrasi, reformasi apa pun namanya, perubahan harus diperjuangkan, terkadang dengan darah dan air mata, dan hasilnya tidak dapat segera dinikmati, karena di tengah ketertutupan, para elite dan penguasa menikmatinya.
Rakyat Myanmar masih perlu bersabar!