OKB Dari Tuban

0
211
Mobil showroom berbanjar-banjar ke Sumurgeneng untuk mengantar mobil-mobil pesanan penduduk.

MENJADI orang kaya itu hak semua warga negara, meskipun tak semuanya bisa memperolehnya, karena tergantung keuletan setiap individu. Tapi kini di Tuban, dengan tanah yang dibebaskan Pertamina, warga Sumurgeneng Kecamatan Jenu mendadak jadi OKB (Orang Kaya Baru). Begitu terima ganti untung, warga ramai-ramai membeli mobi baru jumlahnya sampai 180-an buah, bahkan ada juga yang beli 4 sekaligus.

Setiap orang pengin menjadi kaya, sebab dengan kekayan bisa mencapai segalanya, meski tak segalanya bisa dicapai dengan kekayaan. Untuk memperoleh kekayaan itu ada yang jadi pedagang, pengusaha, broker, PNS nakal sampai jadi politisi. Memangngnya jadi politisi bisa kaya? Oo, sangat bisa! Lihat saja sekarang, orang yang dulunya tampil imbas-imbis (sangat sederhana), begitu duduk di DPRD atau DPR, langsung punya mobil baru dengan nomer cantik pula. Padahal dulu ketika  jadi rakyat biasa, ituran RT saja nunggak melulu.

Di era gombalisasi ini gengsi dan kehormatan orang dilihat dari mobilnya merk apa dan berapa jumlahnya. Bila modelnya hanya roti tawar (minibus) macam Kijang kapsul tahun 2000-an, biasanya orang yang rejekinya pas-pasan. Punya mobil bukan untuk gengsi, tapi karena kebutuhan transportasi. Tapi kalau orang berduit mobilnya pasti berkelas semisal Mercedes Benz sampai Rolls Royce. Kalau Kijang Inova pun pasti tahun terakhir.

Sudut pandang warga Sumurgeneng rupanya juga begitu, jadi orang kaya harus punya mobil dan banyak. Maka ketika dapat ganti untung miliaran ada yang beli sampai 4 buah. Satu untuk suami, satunya lagi untuk istri, satunya lagi untuk bisnis dan satunya lagi kendaraan keluarga bersama. Padahal bagi keluarga biasa dan pada umumnya, mobil satu untuk keperluan serbaguna. Ke kantor itu, untuk arisan itu, kondangan juga itu. Maka andaikan mobil bisa ngomong, pastilah mengeluh: capek deh……

Jika tak ada proyek kilang minyak Pertamina, mustakhil warga desa ini jadi OKB. Dan jika alamnya masih Orde Baru, juga tak mungkinlah mereka bisa mendadak kaya raya. Sebab jaman itu, pembebasan tanah warga terminologinya ganti rugi, bukan ganti untung seperti sekarang. Maka di masa Orde Baru, siapa pun yang terkena proyek pemerintah langsung buntung. Bukan saja terusir dari tanah sendiri, tapi masa depannya belum juga pasti.

Paling jahat dan konyol, banyak oknum-oknum aparatur negara yang mendadak jadi bong supit alias tukang sunat proyek. Misalnya negara memberi ganti rugi permeter Rp 100.000,- tapi yang sampai ke pemilik tinggal Rp 50.000,- sisanya bubar dibagi-bagi dari camat, lurah sampat RW-RT. Jika ada warga yang menolak, bisa dituduh PKI dan warga pun terpaksa menerima karena terpaksa.

Di era reformasi ketika orang semakin pintar, tak bisa lagi digertak dengan tuduhan PKI. Tambah lagi semakin banyak pengacara yang siap membela warga meski banyak juga yang bermotto maju tak gentar membela yang bayar. Pemerintah membeli harga tanah rakyat dengan harga pantas. Dan di masa pemerintahan Jokowi sekarang, hampir semua proyek negara para korban pembebasan diberi ganti untung, meski banyak juga yang dimanfaatkan para broker tanah.

Seperti penduduk Sumurgeneng Tuban, warga Temon Kabupaten Kulon Progo DIY juga banyak yang kaya mendadak gara-gara tanahnya dibebaskan proyek bandara YIA (Yogyakarta Internasional Airport). Para OKB itu juga ramai-ramai membeli mobil baru. Bahkan ada, ketika mobil baru itu tabrakan saat dijajal, langsung ke showroom lagi untuk membeli. Maklumlah, mereka memperoleh ganti untung bermiliar-miliar.

Padahal berinvestasi dalam bentuk mobil itu malah merugi, karena nilai jualnya akan terus menurun, belum lagi biaya perawatan setiap bulan. Maka orang pintar merawat harta, akan menyimpan dalam bentuk emas atau disimpan di bank. Dan kebiasaan orang, ketika ada duit banyak di rumah maunya jadi macem-macem. Beli ini itu termasuk kawin lagi. Maka hati-hati jika tak pandai mengelola uang! Tadinya uangnya banyak di bank, kini jadi Bang Samiun tukang becak karena hartanya sudah ludes akibat pemborosan. (Cantrik Mataram)

Advertisement div class="td-visible-desktop">