spot_img

Om Telolet Om !

‘Om, Telolet Om !’
Beberapa hari belakangan media sosial akrab dengan ejaan tersebut. ‘Om, Telolet Om !’ adalah video amatir yang menggambarkan  kepolosan anak-anak Indonesia, berdiri di pinggiran jalan sambil mengangkat karton besar bertulisan ‘Om, Telolet Om !’. Ketika bus-bus besar melintas, mereka bersorak sambil mengangkat tulisan tersebut, meminta pengemudi bus membunyikan klakson yang bunyinya terdengar seperti ‘telolet’.

Itu sepenggal penjelasan tentang ‘Om, Telolet Om !’
Dalam sekejap, kalimat tersebut menjadi trending issue, tak hanya di Indonesia, namun juga di berbagai penjuru dunia. Kalimat ini turut dicuitkan berbagai tokoh dan selebritis dunia di akun media sosialnya.

Fenomena Telotet berkaitan dengan nilai kebahagiaan yang dilihat dari perspektif anak-anak, bahwa ‘Bahagia itu sederhana: cukup dengan mendengarkan suara tolelet bus di pinggir jalan.

Berbanding terbalik dengan anak-anak di Aleppo, Syria. Jangankan untuk berdiri mendengar bunyi telolet di jalanan. Untuk keluar rumah saja mereka terancam.

Nyawa mereka menjadi sesuatu yang mudah terampas begitu saja. Teror bom seakan tak pernah absen setiap haro menghujani kota mereka. Namun, dunia enggan, dunia diam. Kasus genosida anak-anak Aleppo kalah dengan telolet.

“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanya permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak.” (QS. Al Hadid 20)

Sebagai manusia, adalah hal lumrah saat kita mengenyampingkan perkara yang membuat diri sesak, takut, ngeri, dan memilih hal-hal lucu dan menyenangkan untuk dinikmati. Namun kebiasaan ini membuat perlahan rasa kemanusiaan kita berkurang.

Kita menjadi abai dengan krisis kemanusiaan yang terjadi, dengan dalih, ‘Itu kan nggak terjadi di dekat kita,’ Kita lupa, bahwa mereka masih saudara kita. Masih menginjakkan tanah yang sama di bumi yang sama.

Lantas mengapa tidak kita buat dunia ini nyaman bagi semuanya? Kebahagiaan tak hanya untuk anak-anak yang ingin mendengar Telolet, tapi juga bagi anak-anak Aleppo, Syria.

Kenapa kita hanya mau berbagi kelucuan Telolet, namun enggan untuk ikut menyuarakan hak anak-anak Aleppo, atau Rohingya, agar mereka juga bisa menikmati masa kecil mereka dengan damai seperti anak-anak di Indonesia? (*)

spot_img

Related Articles

spot_img

Latest Articles