JAKARTA – Kecewa dengan respon Rumah Sakit Harapan Bunda yang belum memenuhi janji surat pernyataan yang telah dibuat, Perwakilan orang tua korban vaksin palsu menyampaikan tuntutannya kepada pimpinan DPR dan Komisi IX.
Salah satu janji di dalam surat pernyataan adalah membuka data korban penggunaan vaksin palsu periode 2013-2016.
“Alasan kami mengadu ke DPR, sesuai dengan surat pernyataan dari pihak rumah sakit yang berjanji akan taati surat pernyataan untuk membuka data pasien korban penggunaan vaksin palsu 2003-2016,” kata August dalam pertemuan di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (19/7/2016).
Namun, menurut August, pihak RS Harapan Bunda hanya membuka data korban penggunaan vaksin palsu periode Maret hingga Juni 2016. Atas dasar itu, perwakilan orang tua korban, kata August membuat tujuh tuntutan kepada RS Harapan Bunda.
Ketujuh tuntutan itu di antaranya adalah meminta RS Harapan Bunda menerbitkan data pasien korban penggunaan vaksin palsu sejak 2003, melakukan vaksinasi ulang setelah korban dibiayai untuk medical check up di rumah sakit lain.
Selain itu, August berkata, tuntutan lainnya adalah meminta jaminan kesehatan terhadap pasien korban vaksin palsu sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Hal ini untuk menghindari dampak atau akibat di kemudian hari, meski vaksin palsu dinyatakan tidak berbahaya.
Sedangkan, perwakilan orang tua korban dari RS Mutiara Bunda, Adheri juga mengadukan persoalan serupa tentang pemberian vaksin palsu kepada anaknya.
Ia meminta kepada pihak rumah sakit agar melakukan medical check up terlebih dulu sebelum vaksinasi ulang terhadap korban penggunaan vaksin palsu.
“Kami minta diberikan rekam medis ke keluarga pasien dan dilakukan medical check up sebelum vaksinasi ulang. Supaya kami yakin, anak kami kena atau tidak,” kata Adheri, dikutip dari CNN Indonesia.
Sementara itu Ketua DPR Ade Komarudin menanggapi keluhan para orangtua dan mengatakan parlemen akan meminta pemerintah atau Satgas Vaksin Palsu untuk segera membuat crisis centre skala nasional di setiap rumah sakit, baik negeri maupun swasta.
“Harusnya tiap rumah sakit, baik negara maupun swasta diperintahkan membuat crisis center dan secara nasional harus dipimpin langsung oleh menteri untuk atasi masalah ini,” ujar Ade.
Pembentukan crisis center skala nasional, kata Ade, akan memudahkan informasi dan memastikan pasien korban vaksin palsu dapat ditangani dengan baik.
“Akar masalah ini, juga menjadi tugas crisis center tersebut. Panja atau tim pengawas dewan akan kerja melihat hal-hal itu,” ucapnya.