Saudaraku, kemarin saya mendapat kehormatan memberikan perspektif tentang Pancasila kepada para guru besar dan mahasiswa dari Universitas Leipzig, Jerman, di Universitas Negeri Jakarta.
Kukatakan bahwa bangsa majemuk memerlukan kerangka “titik temu” demi kebaikan dan kebahagian hidup bersama.
Titik temu itu bisa diusahakan dengan kemampuan menemukan sedimentasi nilai-nilai esensial dan pandangan dunia yang mengendap solid dalam lintasan panjang sejarah peradaban Nusantara; disertai kemampuan menyerap nilai dan visi etis kemanusiaan universal yang dapat mempertinggi mutu keadaban dan kearifan lokal.
Nilai-nilai ideal yang bersifat relatif ajeg itu kemudian dijadikan “titik tumpu” (dasar) filosofi negara, yang melandasi hukum dasar, perundang-undangan, ideologi dan kebijakan negara.
Nilai-nilai dasar filosofi itu juga sekaligus menjadi bintang penuntun untuk merumuskan “titik tuju”, yang mengandung visi ttg masa depan yang diidamkan beserta kerangka ideologis-paradigmatis untuk mewujudkannya.
Jurang lebar antara idealitas dan realitas Pancasila hanya bisa dijembatani manakala kita bisa sungguh-sungguh mengupayakan pemenuhan modal sosial-keadaban (mentalitas, moralitas, spiritualitas, dan solidaritas bangsa); modal ideologis-paradigmatis (tata nilai, tata kelola, tata sejahtera–dengan kedalaman penetrasi ideologis pada dimensi keyakinan, pengetahuan dan tindakan); disertai pendekatan dan metodologi yang tepat dan atraktif.
Cara kita merayakan Pancasila jangan sampai seperti mengenakan baju kebesaran secara terbalik. Bangsa Indonesia boleh bangga memiliki konsepsi ideologi Pancasila dengan visi dan relevansi yang senantiasa aktual dengan perkembangan zaman. Namun, operasionalisasi konsepsi Pancasila itu dalam penyelenggaraan negara kian jauh panggang dari api.
Untuk membuat Pancasila menjadi sakti, kita tak boleh berhenti sebatas menangkap abunya, tetapi harus bisa menggali dan menyalakan apinya. Diperlukan kesanggupan menghayati secara mendalam visi dan misi negara disertai komitmen bersama untuk menjadikan Pancasila sebagai “ideologi kerja” (bukan verbalisme “pepesan kosong”), yang dapat memformulasikan dan menggerakkan paradigma pembangunan di segala bidang.