Peluang PM Perempuan Pertama Jepang Anjlok

Peluanga calon PM perempuan Jepang pertama Sanae Takaichi turun akibat mitra yunior Partai Komeito menarik diri dari koalisi dengan LDP (foto: Reuters)

KOALISI pemerintahan Jepang kolaps, Jumat (10/10) setelah Partai Komeito, mitra junior koalisi, menarik dukungan dari Partai Demokrat Liberal (LDP)  sehingga peluang PM perempuan pertama Sanae Takaichi yang diajukan koalisi tersebut menurun.

AFP melaporkan (11/10), langkah ini menimbulkan ketidakpastian politik dan menggoyahkan peluang Sanae Takaichi untuk menjadi perdana menteri perempuan pertama di Jepang.

Pengumuman pembubaran koalisi terjadi kurang dari sepekan setelah Takaichi ditunjuk sebagai pemimpin kelima LDP dalam beberapa tahun terakhir, dengan mandat untuk mengembalikan kepercayaan publik menjelang pemilu.

Ketua Partai Komeito, Tetsuo Saito, menyebut kegagalan LDP memperketat regulasi pendanaan politik sebagai alasan utama partainya keluar dari koalisi. Komeito merujuk pada skandal politik besar LDP tahun lalu, yang melibatkan pembayaran ilegal jutaan yen dari hasil penjualan tiket acara penggalangan dana.

Skandal tersebut membuat perdana menteri saat itu, Fumio Kishida, kehilangan jabatannya. Beberapa faksi dalam tubuh LDP pun dibubarkan, dan kepercayaan publik terhadap partai menurun drastis.

Penunjukan Koichi Hagiuda—yang namanya terseret dalam skandal itu—ke posisi penting oleh Takaichi semakin memperburuk hubungan dengan Komeito.

“Bagi Partai Komeito, yang menjunjung tinggi integritas publik, sulit menjelaskan hal ini kepada para pendukung dan relawan kampanye,” ujar Hidehiro Yamamoto, profesor politik dan sosiologi di Universitas Tsukuba.

“Koalisi ini terasa seperti beban. Komeito tidak mendapat banyak manfaat dari kerja sama ini,” tambahnya.

Konservatif

Di luar isu skandal, sikap konservatif Takaichi juga menjadi perhatian tersendiri bagi Komeito. Takaichi dikenal rutin mengunjungi Kuil Yasukuni, tempat pemujaan yang menghormati tentara Jepang yang gugur, termasuk para penjahat perang kelas A yang divonis setelah PD II.

Kunjungan ke kuil tersebut kali terakhir dilakukan oleh mantan Perdana Menteri Shinzo Abe pada 2013, dan menuai protes keras dari China serta Korea Selatan.

Komeito, yang memiliki akar dari organisasi keagamaan Soka Gakkai, cenderung mengedepankan nilai-nilai perdamaian dan moderasi dalam kebijakan.

Setelah runtuhnya koalisi, LDP dan Komeito kehilangan mayoritas di kedua majelis parlemen Jepang. Hal ini menyulitkan pengesahan UU dan memaksa pemerintah untuk merangkul oposisi dalam tiap agenda legislasi.

Laporan media Jepang menyebut Takaichi berupaya membentuk koalisi baru dengan Partai Demokrat untuk Rakyat (DPP), mengingat adanya kesamaan dalam beberapa kebijakan ekonomi.

Namun, upaya tersebut belum menunjukkan hasil. Ketua DPP, Yuichiro Tamaki, justru menyatakan dukungan terhadap langkah Komeito dan menegaskan pentingnya menyelesaikan persoalan “politik dan uang” dalam tubuh pemerintahan.

Belum capai mayoritas

Gabungan suara LDP (196 kursi) dan DPP (27 kursi) pun masih belum mencukupi untuk mencapai mayoritas 233 kursi di majelis rendah. Komeito sendiri memiliki 24 kursi.

Penunjukan PM baru tetap membutuhkan dukungan mayoritas di parlemen. Dalam kondisi ini, peluang Takaichi untuk meraih kursi perdana menteri terlihat makin menipis.

Meski demikian, skenario politik masih terbuka. Takaichi bisa saja menang dalam putaran kedua pemungutan suara di parlemen jika tidak ada kandidat oposisi yang memperoleh dukungan lebih besar.

Korupsi Menguapkan Peluang Takaichi Jadi Perempuan Pertama PM Jepang itu.

“Jika partai oposisi berhasil menyatukan suara untuk satu kandidat, maka pemerintahan bisa berganti tangan,” ujar Sadafumi Kawato, profesor emeritus Universitas Tokyo.

Masyarakatnya Jepang yang sangat menjunjung tinggi nilai

nilai kejujuran  menganggap aib jika ada politisi atau birokrat yang terlibat prakek korupsi yang menuntungkan kelompok apaladi dirinya. (AFP/Kompas.id/ns)

 

Advertisement

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here