Saudaraku, dalam suatu bangsa yang cenderung membenarkan yg biasa, bukan membiasakan yang benar, keguyuban yang berkembang acap kali merupakan keguyuban destruktif, seperti tecermin dalam istilah ”budaya korupsi”.
Dalam situasi demikian, yang diperlukan bukanlah pemimpin konformis, yang gestur politiknya mengikuti ekspektasi kemapanan yang korosif. Yang dibutuhkan justru pemimpin eksentrik yang berani menawarkan pilihan berbeda dari arus utama.
Menurut John Stuart Mill, kreativitas sosial memerlukan tumbuhnya eksentrisitas. Adapun ”jumlah eksentrisitas dalam suatu masyarakat umumnya proporsional dengan jumlah genius, kekuatan mental, dan keberanian moral yang dikandung masyarakat tersebut. ”
Bahwa saat ini Indonesia mengalami defisit pemimpin eksentrik berkarakter yang memiliki kekuatan mental, kebernasan gagasan, dan keberanian moral untuk mengambil pilihan sendiri di luar kelatahan dan tekanan luar, merupakan tantangan yang harus segera dipecahkan oleh institusi pemilihan.
Tingginya biaya kekuasaan membuat banyak partai lebih mendukung orang semenjana yg populer dan berani bayar ketimbang orang eksentrik berkantong tipis. Ada juga paradoks antara preferensi pada pemilihan langsung yang mengarahkan masyarakat menuju individualisme dengan ketiadaan pranata sosial yang dapat mengembangkan otonomi dan karakter individu.
Dalam lemahnya logika pencerahan, kepastian hukum, dan ekosistem kreativitas, ruang otonomi individu dipersempit oleh keharusan keguyuban. Kebanyakan individu tumbuh dengan mentalitas konformis, bukan subyek berdaulat yang bisa memilih atas dasar daya pikirnya dan melakukan pembelajaran untuk tidak belajar (meniru) dari tradisi buruk.
Pergeseran ke arah individualisme tanpa kekuatan individualitas melahirkan buih kerumunan di ruang publik. Mentalitas kerumunan tanpa kapasitas nalar publik inilah yang rentan dimanipulasi oleh mesin pencitraan dan politik uang atau dipersuasi oleh sentimen pemujaan identitas.
Demokrasi individualisme di tengah mentalitas kerumunan menyuburkan dua tipe pemimpin: mereka yang gila kuasa atau berkuasa gila. Padahal, yang cocok utk memulihkan krisis dan membawa transformasi bangsa ke depan adalah pemimpin eksentrik ”setengah gila”.